Jumat, 24 Juni 2011

Tak Selamanya Bau Busuk Itu Tidak Sedap

Laporan : Andre Vetronius

    Bau busuk menyengat, lalat-lalat hijau pun hinggapi sampah, tikus-tikus got mencari makan pada tumpukan sampah tersebut.Apakah saat ini kalian dapat lihat, bahwa keadaan lingkungan di sekitar ini sudah tidak sehat lagi?

    Sampah-sampah ada dimana-mana, sehingga dapat menyebarkan penyakit ke lingkungan sekitar, limbah ada dimana-mana sehingga air yang kita minum menjadi tidak sehat juga. begitulah gambaran kota peraih Adipura tujuh kali ini (Kota Pekanbaru).
   
     Kota-kota besar di indonesia tidak pernah luput dari apa yang namanya sampah. Sebagian orang mungkin sangat geram,dengan bau busuk,dan tumpukan sampah yang berada di dekat rumah mereka ataupun sepanjang jalan rumah mereka. Perkembangan Kota Pekanbaru yang sangat pesat,apalagi dalam bidang perekonomiannya. Hal itu yang menjadi imbas terhadap produksi sampah yang dihasilkan setiap harinya. Kota bertuah ini hampir 160 ton menghasilkan sampah setiap tahunnya.

    Timbul niat Sumantri untuk ikut membersihkan sampah plastik karena sadar plastik tak mudah terurai. Ia lalu belajar kepada pemulung bagaimana memanfaatkan sampah plastik. Dia berkenalan dengan Darmo, agen pemulung di Pekanbaru. Dari Darmo ia tahu, sampah plastik hanya dimanfaatkan ala kadarnya. Pemulung di Pekanbaru menggolongkan sampah plastik dalam dua jenis, atom plastik dan cong atau samsam.

    Atom plastik berupa bekas kemasan air berbentuk gelas, kursi plastik, hingga bekas ember. Sedangkan cong atau samsam merupakan campuran berbagai sampah plastik. Penggolongan yang sederhana itu membuat nilai sampah plastik saat dijual ke agen atau pengepul sangat murah.

    Sumantri yang penasaran dengan sampah plastik, mencoba mencari tahu lewat internet. Dia kemudian tahu, sampah plastik seperti halnya ketika masih berupa bahan jadi plastik, terdiri dari berbagai jenis. Sampah plastik pun dibedakan sesuai senyawa kimia pembentuknya. ”Di internet saya tahu, sampah plastik secara garis besar ada tujuh jenis.”

    Tujuh jenis itu adalah PET (polyethylene therephthalate), biasanya berupa botol air mineral, HDPE (high density polyethylene) berupa botol oli, kosmetik hingga keresek, PVC (polyvinyl chloride) berupa pipa dan bahan konstruksi, LDP (low density polyethylene) berupa tutup botol air kemasan galon, PP (polypropylene) berupa kemasan air dalam gelas hingga peralatan makan, PS (polystyrene) biasanya styrofoam, dan HIPC (high impact plastic cover) untuk perangkat elektronik.

    Harga tiap jenis sampah plastik itu berbeda-beda. Sayang, lanjut Sumantri, pemulung tak tahu jenis-jenis sampah plastik karena mereka menggolongkannya secara sederhana. Dia mencontohkan, satu bekas kemasan botol air minum terdiri dari empat jenis plastik. ”Botolnya itu PET, labelnya PP, tutupnya HDPE, dan segelnya PVC.”.

    Mungkin sebagian orang tidak pernah berpikir bahwa sampah bisa kita jadikan hal yang bermanfaat itulah yang dilakukan oleh Chevron. Ketika di berbagai daerah dipusingkan dengan keberadaan sampah yang kian menumpuk, berbeda dengan Chevron yang mengolah sampah kantor dan rumahtangga dari kompleks perumahan karyawannya menjadi pupuk organik, kompos.

     Bangaimana cara sampah-sampah tersebut bisa dijadikan hal yang bermanfaat? sampah-sampah itu bisa dilakukan pengumpulan dan disortir untuk memisahkan antara sampah organik maupun non organik. Dengan kata lain hal ini inilah tang disebut proses sampah menjadi kompos. Apa yang dimaksud dengan kompos?

    Kompos adalah hasil penguraian parsial/tidak lengkap dari campuran bahan-bahan organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh populasi berbagai macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembab, dan aerobik atau anaerobik (Modifikasi dari J.H. Crawford, 2003). Sedangkan pengomposan adalah proses dimana bahan organik mengalami penguraian secara biologis, khususnya oleh mikroba-mikroba yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi. Membuat kompos adalah mengatur dan mengontrol proses alami tersebut agar kompos dapat terbentuk lebih cepat. Proses ini meliputi membuat campuran bahan yang seimbang, pemberian air yang cukup, mengaturan aerasi, dan penambahan aktivator pengomposan.

    Sampah terdiri dari dua bagian, yaitu bagian organik dan anorganik. Rata-rata persentase bahan organik sampah mencapai ±80%, sehingga pengomposan merupakan alternatif penanganan yang sesuai. Kompos sangat berpotensi untuk dikembangkan mengingat semakin tingginya jumlah sampah organik yang dibuang ke tempat pembuangan akhir dan menyebabkan terjadinya polusi bau dan lepasnya gas metana ke udara. Kota Pekanbaru menghasilkan 160 ton sampah setiap harinya, di mana sekitar 65%-nya adalah sampah organik. Dan dari jumlah tersebut, separuhnya dihasilkan oleh seluruh pasar yang ada di Pekanbaru, di mana 95%-nya adalah sampah organik. Melihat besarnya sampah organik yang dihasilkan oleh masyarakat, terlihat potensi untuk mengolah sampah organik menjadi pupuk organik demi kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.

    Saat ini pemerintah kota telah menetapkan tempat pembuangan akhir (TPA) sampah di 2 lokasi dengan metode open dumping, yaitu kawasan Limbungan seluas 5 Ha dengan jarak dari kawasan pemukiman 19 km dan Kulim seluas 3 Ha dengan jarak dari kawasan pemukiman 8 km. Selain itu gerobak sampah masih digunakan untuk pengumpulan tak langsung, jumlah total gerobak yang ada saat ini adalah 305 buah dengan kapasitas rata-rata 1 m³ untuk melayani pengumpulan individual pada 5 wilayah pengumpulan.
   
    Sarana pemindahan yang ada berupa bak sampah pasangan batu-bata dan pelat baja sebanyak 32 buah dengan daya tampung 157.5 m³. Saat ini kapasitas penampungan TPS baru mencapai 8 % terhadap total timbunan yang ada. Untuk armada angkutan pengambilan sampah langsung digunakan truk bak terbuka, jumlah pengangkutan yang dilakukan adalah 2 – 3 kali per harinya, sehingga kapasitas pengangkutan baru mencapai 20 %. Sedangkan setiap harinya terdapat 170 m³ timbunan sampah, sehingga jumlah sampah yang telah dikelola dan terangkut sampai ke TPA baru mencapai 120 m³/hari atau sekitar 60 %.

    Namun,hal itu tidak berlaku bagi Pak Sumantri, beliau bergelut dengan sampah-samapah setiap harinya. Dari sampah itulah yang membuat beliau jadi wirausahawan pupuk kompos. Beliau bukan saja jadi pengusaha pupuk kompos, tetapi beliau juga menjadi wirausahawan sampah plastik. Awalnya Sumantri tengah mencari kemungkinan kerabatnya yang hilang atau meninggal akibat gempa dan gelombang tsunami. Sesampai di Pekanbaru.ia termangu melihat tumpukan sampah berbagai jenis, dari besi hingga plastik.

    Saat sampah mulai dibersihkan, Sumantri heran. Tak banyak orang mau memunguti sampah plastik. Pemulung tak banyak yang mau mengambil sampah plastik. ”Mungkin karena nilainya rendah, sampah plastik tak banyak yang mengambil. Berbeda dengan besi yang harganya mahal kalau dijual kembali,” katanya.

     Berangkat dari kisah itulah hingga sekarang Sumantri menjadi wirausahawan pupuk kompos dan sampah plastik di Pekanbaru. Jadi tidak selamanya bau busuk itu tidak sedap.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar