Rabu, 23 Oktober 2013

DAMPAK POSITIF DAN NEGATIF KEBERADAAN PKL STUDI KASUS: PKL DI KOTA PADANG




BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
            Pertumbuhan kota-kota di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari kehadiran sektor informal, yang secara integral telah merasuk dalam setiap kegiatan kehidupan perkotaan. Keberadaan sektor informal tidak dapat dilepaskan dari proses pembangunan, dimana ketidakseimbangan pembangunan desa dan kota, menarik arus urbanisasi ke kota. Hal ini meyebabkan pertumbuhan jumlah angkatan kerja yang tidak sejalan dengan ketersediaan lapangan kerja. Dalam situasi inilah para pencari kerja lari ke sektor informal dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satu usaha sektor informal adalah pedagang kaki lima (PKL).
             Dalam perkembangannya PKL menghadapkan pemerintah pada kondisi yang dilematis, disatu sisi keberadaannya dapat menciptakan lapangan kerja, sedangkan dilain pihak keberadaan PKL yang tidak diperhitungkan dalam perencanaan tata ruang telah menjadi beban bagi kota. PKL beraktivitas pada ruang-ruang publik kota tanpa mengindahkan kepentingan umum, sehingga terjadinya distorsi fungsi dari ruang tersebut. Pada akhirnya kesesuaian tatanan fisik masa dan ruang kota dalam menciptakan keserasian lingkungan kota sering kali tidak sejalan dengan apa yang telah direncanakan. PKL telah memberikan dampak negatif terhadap tatanan kota, sedangkan terhadap masyarakat keberadaan PKL selain memberikan dampak negatif juga memberikan manfaat/dampak positif terhadap masyarakat.


1.2. Perumusan Masalah
            Dalam makalah ini terdapat beberapa rumusan masalah, yaitu:
1.      Pengertian Pedagang Kaki Lima
2.      Sejarah Pedagang Kaki lima
3.      Dampak positif dan dampak negatif dengan munculnya pedagang kaki lima

1.3 .Tujuan
Dalam pembuatan makalah ini terdapat beberapa tujuan, yaitu:
1.      Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Sektor Ekonomi Informal
2.      Memberikan wawasan kepada mahasiswa dalam mengkaji keberadaan PKL
3.      Menjelaskan berapa pentingnya peranan PKL terhadap sektor informal

BAB II
PEMBAHASAN


2.1.  Pengertian Pedagang Kaki Lima (PKL)
Menurut Poerwadarminta (2000) Pedagang Kaki Lima atau yang biasa disingkat dengan kata PKL adalah istilah untuk menyebut penjaja dagangan yang menggunakangerobak. Istilah itu sering ditafsirkan demikian karena jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga "kaki"gerobak (yang sebenarnya adalah tiga roda atau dua roda dan satu kaki). Dahulu namanya adalah pedagang emperan jalan, sekarang menjadi pedagang kaki lima, namun saat ini istilah PKL memiliki arti yang lebih luas, Pedagang Kaki Lima digunakan pula untuk menyebut pedagang di jalanan pada umumnya. Istilah kaki lima adalah lantai yang diberi atap sebagai penghubung rumah dengan rumah(Kamus Besar Bahasa Indonesia), arti yang kedua adalah lantai (tangga) dimuka pintu atau di tepi jalan. Arti yang kedua ini lebih cenderung diperuntukkan bagi bagian depan bangunan rumah toko, dimana di jaman silam telah terjadi kesepakatan antar perencana kota bahwa bagian depan(serambi) dari toko lebarnya harus sekitar lima kaki dan diwajibkan dijadikan suatu jalur dimana pejalan kaki dapat melintas. Namun ruang selebar kira-kira lima kaki itu tidak lagi berfungsi sebagai jalur lintas bagi pejalan kaki, melainkan telah berubah fungsi menjadi area tempat jualan barang-barang pedagang kecil, maka dari situlah istilah pedagang kaki lima dimasyarakatkan.

2.1.1.  Sektor Informal
Menurut Lukman Sutrisno (1997) secara teoritis sektor informal sudah ada sejak manusia berada di dunia. Fenomena ini terlihat dari kemampuan manusia untuk mencukupi kebutuhan sendiri melalui kerja mandiri tanpa bergantung pada orang lain. Manusia pada awalnya menunjang kehidupannya melalui lapangan kerja yang diciptakan sendiri dan dikerjakan sendiri atau self-employed. Dengan demikian pada saat itu self employed merupakan organisasi produksi yang formal. Kemampuan kerja mandiri tersebut kemudian berubah setelah masuk pengaruh budaya industri dari negara Barat. Ada dua sebab yang mendorong self-employed yang semula merupakan organisasi produksi yang formal menjadi apa yang disebut sekarang sebagai "sektor informal". Pertama, setelah revolusi industri terjadi maka berkembang cara produksi yang lebih terorganisir. Kedua, munculnya negara dan pemerintahan yang mengatur kehidupan manusia yang semakin kompleks memberikan peluang bagi warga negara untuk menjadi birokrat, pegawai negri, polisi, dan tentara. Mereka inilah yang kemudian menjadi buruh dari negara atau pemerintahan. Perkembangan selanjutnya dari para pegawai tersebut dikelompokan menjadi sektor formal dalam jenis pekerjaan. 
Sektor informal  yang lahirnya tidak dikehendaki dalam konteks pembangunan ekonomi, karena dianggap merupakan produk sampingan dari pembangunan sektor formal, mempunyai sifat-sifat yang memang bertentangan dengan sektor formal.  Sifat-sifat sektor informal yang mencerminkan adanya pertentangan dengan sektor formal tersebut antara lain: a). Dari sisi pemasaran, transaksi tawar menawar diluar sistem hukum formal dengan afinitas sosial budaya lebih menonjol, b) Perilaku sosial pelaku berhubungan erat dengan kampung dan daerah asal, c) Merupakan kegiatan illegal sehingga selalu terancam penertiban, d) Pendapatan para pelaku ekonomi sektor ini  syah tetapi disembunyikan disebut black economy atau underground ekonomi, e) Secara umum dipandang melakukan peran periferal dalam ekonomi kota dan beraneka ragam kegiatan, f) Dalam menjalankan usaha terjadi persaingan ketat diantara para pelaku ekonomi di sektor ini, g) Kebanyakan berusaha sendiri, tidak terorganisir, keuntungan  kecil, h) Kegiatan ekonomi di sektor informal tumbuh dari rakyat miskin dikerjakan oleh rakyat miskin, dan sebagian konsumennya adalah rakyat miskin.

Terlepas dari semua definisi atau ciri-ciri tersebut diatas keberadaan sektor informal sudah menjadi sebuah realitas sosial yang ada dalam kehidupan masyarakat. Hal ini berarti bahwa mengabaikan keberadaanya justru akan mempersulit kita dalam memecahkan persoalan-persoalan ekonomi yang sedang dihadapi oleh masyarakat itu sendiri. Keberadaanya yang banyak menjadi harapan rakyat klas bawah sebagai lahan mencari nafkah merupakan tantangan bagi pemerintah untuk menjadikan sektor ini sebagai bagian dari sistem perekonomian nasional.
Perkembangan sektor informal di perkotaan tidak terlepas dari pertumbuhan penduduk yang cepat di daerah perkotaan tersebut. Urbanisasi merupakan salah satu penyebab dari berbagai sebab semakin berkembang sektor informal di perkotaan. Paling tidak terdapat dua alasan utama yang dapat menjelaskan terjadinya peningkatan jumlah pekerja sektor informal di negara-negara berkembang. Alasan pertama, dikemukakan oleh Prebish (1978, 1981) yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tidak seimbang antara daerah perkotaan dan perdesaan menyebabkan terjadinya "urbanisasi yang prematur" (prematur urbanization) dan "deformasi struktural" (structural deformation) dalam ekonomi (dalam Sasono, 1980).  Alasan kedua yang dapat digunakan untuk menjelaskan terjadinya peningkatan jumlah pekerja disektor informal di negara-negara sedang berkembang adalah tesis yang dikemukakan oleh Tokman (1982) yaitu berpangkal pada adanya perbedaan produktifitas yang menyolok antar sektor dan intra sektor yang telah mengakibatkan terjadinya "keragaman struktural" (structural heterogenity). 

2.1.2. Hubungan Sektor Informal dengan Sektor Formal
Hubungan antara sektor informal dan sektor formal nampaknya sulit untuk dipisahkan. Keduanya merupakan sektor ekonomi yang saling mengisi ketika salah satunya tidak dapat memenuhi kebutuhan akan meluapnya tenaga kerja. Kondisi tersebut dapat disebabkan karena secara ekonomi sektor informal memang tidak mampu lagi menampung tenaga kerja yang ada, tetapi juga karena persoalan-persoalan sosial yang menyebabkan bangkrutnya sektor formal. Luapan tenaga kerja tersebut pada akhirnya ditampung  oleh sektor non formal.
Gambaran hubungan yang erat antara sektor formal dan informal tersebut oleh para ahli ekonomi dilihat dari dua segi pandangan. Pertama, bahwa keberadaan dan kelangsungan perluasan sektor informal diterima sebagai fase yang harus ada dalam proses pembagunan. Dampak dari pembangunan harus melewati fase tersebut dimana sektor formal pada fase tertentu tidak mampu untuk menampung semua tenaga kerja yang ada. Oleh karena itu fungsi sektor informal adalah sebagai penyangga (buffer zone)   Sektor informal dipandang sebagai wadah persemaian benih-benih kewiraswastaan yang diperlukan dalam mendorong munculnya kelompok pengusaha pribumi yang sangat diperlukan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi kota-kota di negara-negara berkembang (Mc Gee, 1973; Mazumbar, 1976; Sethuraman, 1985 dalam Effendi, 1996). Dalam artian yang demikian maka sektor informal merupakan gejala yang positip bagi perkembangan ekonomi kota. Melalui sektor tersebut diharapkan para migran dapat ditempa kemampuan berwiraswasta sehingga pada akhirnya mereka mampu memasuki sektor formal. Sebagai sebuah fase dalam proses pembangunan maka keberadaan sektor ini tentu harus dicarikan jalan keluar pemecahanya.
Pandangan kedua melihat hubungan antara sektor informal dengan formal sebagai hubungan ketimpangan struktural. Artinya strategi pembangunan yang salah menyebabkan ketimpangan struktural yang menimbulkan dua kegiatan ekonomi tersebut. Pembenahan dalam hal ketimpangan struktural tersebut akan dapat menghilangkan sektor informal. Pandangan yang terkahir ini nampaknya merupakan pandangan yang tidak melihat kenyataan bahwa di negara manapun dalam kenyataanya sektor informal tetap ada, meskipun ketimpangan struktural tidak terjadi. Oleh karena itu persoalan yang perlu dipecahkan adalah bagaimana agar sektor informal menjadi kegiatan ekonomi yang tidak mengganggu atau menimbulkan masalah-masalah sosial lainnya.

2.1.3. Sektor Informal Pedagang Kaki Lima (PKL)
Sektor informal dapat dikelompokkan dalam tiga golongan: a). Pekerja yang menjalankan sendiri modalnya yang sangat kecil (PKL, Pedagang asongan, pedagang pasar, pedagang keliling, etc), b) Pekerja informal yang bekerja pada orang lain. Golongan ini termasuk buruh upahan yang bekerja pada pengusaha kecil atau pada suatu keluarga dengan perjanjian lisan dengan upah bulanan atau harian (PRT, Buruh bangunan), c) Pemilik usaha yang sangat kecil (pemilik kios kecil). Sedangkan menurut Mustafa (2005:59) jenis-jenis kegiatan ekonomi yang dapat dikategorikan sebagai sektor informal antara lain: pedagang kecil, penjaja, pedagng kaki lima, buruh kasar harian pemungut puntung rokok, pengumpul barang-barang bekas, dan pengemis.
Pedagang kaki lima merupakan bagian dari sektor informal kota yang mengembangkan aktifitas produksi barang dan jasa di luar kontrol pemerintah dan tidak terdaftar (Evers dan Korf, 2002:234). Istilah pedagang kaki lima atau disingkat PKL  sering ditafsirkan karena jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga "kaki" gerobak (yang sebenarnya adalah tiga roda atau dua roda dan satu kaki). Sebenarnya istilah kaki lima berasal dari masa penjajahan kolonial Belanda. Peraturan pemerintahan waktu itu menetapkan bahwa setiap jalan raya yang dibangun hendaknya menyediakan sarana untuk pejalan kaki. Lebar ruas untuk pejalan adalah lima kaki atau sekitar satu setengah meter. Para pedagang yang menempati sarana untuk pejalan tersebut kemudian disebut sebagai pedagang kaki lima. Saat ini istilah PKL  digunakan secara lebih luas, tidak hanya  untuk para pedagang yang berjualan/berada di badan jalan (trotoar) saja tetapi juga digunakan untuk para pedagang yang berjualan  di jalanan pada umumnya.
Menurut Peraturan Daerah Kota Padang nomor 11 tahun 2005 tentang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat bab 1, pasal 1 menyebutkan bahwa pedagang kaki lima adalah orang atau perorangan yang dalam usahanya menggunakan sarana dan prasarana atau perlengkapan yang mudah dibongkar pasang baik yang menetap maupun tidak, yang menggunakan sebagian atau seluruhnya tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukan bagi tempat usaha/berjualan. Seperti halnya pengertian sektor informal yang oleh kebanyakan para ahli dipahami atau dijelaskan melalui ciri-ciri atau karakteristiknya, pengertian pedagang kaki lima juga akan lebih mudah dipahami melalui penggambaran ciri-ciri atau karakteristiknya.
Beberapa karakteristik khas pedagang kaki lima  dikemukakan oleh Bagong Suyanto dkk. adalah pertama, pola persebaran kaki lima umumnya mendekati pusat keramaian dan tanpa ijin menduduki zona-zona yang semestinya menjadi milik publik (depriving public zoning). Kedua, para pedagang kaki lima umumnya memiliki daya resistensi sosial yang sangat lentur terhadap berbagai tekanan dan kegiatan penertiban, Ketiga, sebagai sebuah kegiatan usaha, pedagang kaki lima umumnya memiliki mekanisme involutif penyerapan tenaga kerja yang sangat longgar. Keempat sebagian besar pedagang kaki lima adalah kaum migran, dan proses adaptasi serta eksistensi mereka didukung oleh bentuk-bentuk hubungan patronase yang didasarkan pada ikatan faktor kesamaan daerah asal (locality sentiment). Kelima, para pedagang kaki lima rata-rata tidak memiliki ketrampilan dan keahlian alternatif untuk mengembangkan kegiatan usaha baru luar sektor informal kota (Suyanto, 2005: 47-48).
Penjelasan berdasarkan ciri-ciri yang melekat pada pedagang kaki lima nampaknya menjadi alternative yang dapat digunakan untuk memahami keberadaan pedagang kaki lima dalam usaha untuk melakukan pembinaan dan penataanya. Apa yang dikemukakan oleh Kartono dkk berdasarkan hasil penelitianya di Bandung, dalam menjelaskan ciri-ciri pedagang kaki lima dapat berguna membantu pembinaan dan penataan pedagang kaki lima tersebut. Menurut Kartono dkk (1980:3-7) pedagang kaki lima mempunyai cirri-ciri a). Merupakan pedagang yang sekaligus sebagai berarti produsen, b). Ada yang menetap pada lokasi tertentu, ada yang bergerak dari tempat yang satu ketempat yang lain (menggunakan pikulan, kereta dorong, tempat atau stan yang tidak permanen serta bongkar pasang),  c). Menjajakan bahan makanan, minuman, barang-barang konsumsi lainya yang tahan lama secara eceran, d). Umumnya bermodal kecil, kadang hanya merupakan alat bagi pemilik modal dengan mendapatkan sekedar komisi sebagai imbalan atau jerih  payahnya, e). Kualitas barang yang diperdagangkan relatif rendah dan biasanya tidak berstandar, f). Volume peredaran uang tidak seberapa besar, para pembeli umumnya merupakan pembeli yang berdaya beli rendah, g). Usaha berskala kecil bisa merupakan family enterprise, dimana ibu dan anak-anak turut membantu dalam usaha tersebut, baik secara langsung maupun  tidak langsung, h). Tawar menawar antar pembeli merupakan relasi yang ciri khas, i). Dalam melaksanakan pekerjaanya ada yang secara penuh, sebagian lagi setelah kerja atau pada waktu senggang dan ada pula yang secara musiman, j) Barang yang dijual biasanya convenience goods jarang sekali specialty goods, k). Dan seringkali berada dalam suasana psikologis yang tidak tenang, meliputi perasaan takut kalu tiba-tiba kegiatan mereka dihentikan oleh Tim Penertiban Umum (TIBUM) dan Satpol PP sebagai aparat pemerintah daerah.
Ciri-ciri yang digambarkan oleh Kartono dkk. tersebut memperlihatkan bahwa pedagang kaki lima mempunyai keragaman baik dari segi tempat berdagang, skala usaha, permodalan, jumlah tenaga kerja, jenis dagangan, dan lokasi usahanya. Alisyahbana (2005:43-44) berdasarkan penelitianya di kota Surabaya telah mengkategorikan pedagang kaki lima menjadi 4 tipologi. Keempat tipologi tersebut adalah: Pertama pedagang kaki lima  murni yang masih bisa dikategorikan PKL, dengan skala modal terbatas, dikerjakan oleh orang yang tidak mempunyai pekerjaan selain pedagang kaki lima, ketrampilan terbatas, tenaga kerja yang bekerja adalah anggota keluarga. Kedua,  pedagang kaki lima yang hanya berdagang ketika ada bazar (pasar murah/pasar rakyat, berjualan di Masjid pada hari Jumat, halaman kantor-kantor). Ketiga, pedagang kaki lima yang sudah melampaui ciri pedagang kaki pertama dan kedua, yakni pedagang kaki lima yang telah mampu mempekerjakan orang lain. Ia mempunyai karyawan, dengan membawa barang daganganya dan peraganya dengan mobil, dan bahkan ada yang mempunyai stan lebih dari satu tempat. Termasuk dalam tipologi ini adalah pedagang kaki lima yang nomaden berpindah-pindah tempat dengan menggunakan mobil bak terbuka. Keempat pedagang kaki lima yang termasuk pengusaha kaki lima. Mereka hanya mengkoordinasikan tenaga kerja yang menjualkan  barang-barangnya. Termasuk pedagang kaki lima jenis ini yaitu padagang kaki lima yang mempunyai toko, dimana tokonya berperan sebagai grosir yang menjual barang daganganya kepada pedagang kaki lima tak bermodal dan barang yang diambil baru dibayar setelah barang tersebut laku.
Ciri pedagang kaki lima yang juga sangat menonjol adalah bersifat  subsistensi. Mereka berdagang hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Apa yang diperoleh pada hari ini digunakan sebagai konsumsi hari ini bagi semua anggota keluarganya dengan demikian kemampuan untuk menabung juga rendah. Kondisi ini menyebabkan para pedagang kaki lima menjadi sangat kawatir terhadap berbagai tindakan aparat yang dapat mengganggu kehidupan subsistensinya. Yustika (2001) menggambarkan pedagang kaki lima adalah kelompok masyarakat marjinal dan tidak berdaya. Mereka rata-rata tersisih dari arus kehidupan kota dan bahkan tertelikung oleh kemajuan kota itu sendiri dan tidak terjangkau dan terlindungi oleh hukum, posisi tawar rendah, serta menjadi obyek penertiban dan peralatan kota yang represif

2.2. Sejarah Pedagang Kaki Lima (PKL)
Pedagang kaki lima atau yang sering disebut PKL merupakan sebuah komunitas yang kebanyakan berjualan dengan memanfaatkan area pinggir jalan raya untuk mengais rezeki dengan menggelar dagangannya atau gerobaknya di pinggir-pinggir perlintasan jalan raya. Bila melihat sejarah dari permulaan adanya PKL atau pedagang kaki lima sudah ada sejak masa penjajahan Kolonial Belanda. Adapun yang menyebutkan bahwa kata “kaki lima” berasal dari masa penjajahan Belanda. Saat itu Kolonial menetapkan bahwa setiap ruas jalan raya harus menyediakan sarana untuk pejalan kaki selebar lima kaki, atau sekitar satu setengah meter untuk kaum pedestrian.  Namun setelah Indonesia merdeka, ruas jalan tersebut banyak dimanfaatkan para pedagang untuk berjualan, sehingga masyarakat mengenalnya dengan nama pedagang emperan, namun menurut sejarahnyalebih tepat disebut pedagang kaki lima.

2.3. Dampak yang Ditimbulkan dengan Adanya PKL
Munculnya Pedagang Kaki Lima atau yang sering disebut PKL telah memberikan banyak dampak, baik iyu dampak positif maupun dampak negatif. Dibawah ini akan diuraikan beberapa dampak positif dan negatif.

2.3.1. Dampak Positif
Ditinjau dari sisi positifnya, sektor informal Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan sabuk penyelamat yang menampung kelebihan tenaga kerja yang tidak tertampung dalam sektor formal (Usman, 2006:50), sehingga dapat mengurangi angka pengangguran. Kehadiran PKL di ruang kota juga dapat meningkatkan vitalitas bagi kawasan yang ditempatinya serta berperan sebagai penghubung kegiatan antara fungsi pelayanan kota yang satu dengan yang lainnya. Selain itu, PKL juga memberikan pelayanan kepada masyarakat yang beraktivitas di sekitar lokasi PKL, sehingga mereka mendapat pelayanan yang mudah dan cepat untuk mendapatkan barang yang mereka butuhkan
Pada umumnya barang-barang yang diusahakan PKL memiliki harga yang relatif terjangkau oleh pembelinya, dimana pembeli utamanya adalah masyarakat menengah kebawah yang memiliki daya beli yang rendah. Keberadaan PKL bisa menjadi potensi pariwisata yang cukup menjanjikan, sehingga keberadaan PKL banyak menjamur di sudut-sudut kota. Dampak positif lainnya terlihat pula dari segi sosial dan ekonomi, karena sektor informal memiliki karakteristik efesien dan ekonomis. Hal tersebut menurut Sethurahman selaku koordinator penelitian sektor informal yang dilakukan ILO di 8 negara berkembang, karena kemampuan menciptakan surplus bagi investasi dan dapat membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hal ini dikarenakan usaha-usaha sektor informal bersifat subsisten dn modal yang digunakan kebanyakan berasal dari usaha sendiri. Modal ini sama sekali tidak menghabiskan sumber daya ekonomi yang besar.

2.3.2. Dampak Negatif
Sisi Negatif, karakteristik PKL yang menggunakan ruang untuk kepentingan umum, terutama di pinggir jalan dan trotoar untuk melakukan aktivitasnya yang mengakibatkan tidak berfungsinya sarana-sarana kepentingan umum. Tidak tertampungnya kegiatan PKL di ruang perkotaan, menyebabkan pola dan struktur kota moderen dan tradisional berbaur menjadi satu sehingga menimbulkan suatu tampilan yang kontras. Bangunan moderen nan megah berdampingan dengan bangunan sederhana bahkan cenderung kumuh. Perlu adanya upaya yang terpadu dari pihak terkait untuk menertibkan Pedagang Kaki Lima ini sebagai upaya untuk mengembalikan fungsi ruang publik sesuai peruntukkannya.
Hal tersebut berakibatkan penurunan kualitas ruang kota ditunjukkan oleh semakin tidak terkendalinya perkembangan PKL sehingga seolah-olah smua lahan kosong yang strategis maupun tempat-tempat yang strategis merupakan hak PKL. Pkl mengambil ruang dimana-mana tidak hanya ruang kosong atau terabaikan , tetapi juga pada ruang yang jelas peruntukkannya secara formal. PKL secara ilegal berjualan hampir di seleruh jalur pedestrian, ruang terbuka, jalur hijau dan ruang kota lainnya. Alasannya karena aksesbilitasnya yang tinggi sehingga berpotensi besar untuk mendatangkan konsumen juga. Akibatnya adalah kaidah-kaidah penataan ruang menjadi mati oleh pelanggaran-pelanggaran yang terjadi akibat keberadaan PKL tersebut. Keberadaan PKL yang tidak terkendali mengakibatkan pejalan kaki berdesak-desakkan, sehingga dapat menimbulkan tindak kriminal (pencopetan). Mengganggu kegiatan ekonomi pedagang formal karena lokasinya yang cenderung memotong jalur pengunjung seperti pinggir jalan dan depan toko. Selain itu, pada beberapa tempat keberadaan PKL mengganggu para pengendara kendaraan bermotor dan mengganggu kelancaran lalu lintas.  
Permasalahan yang terjadi berkaitan dengan penataan atau penertiban PKL adalah kembalinya PKL yang sudah direlokasi ke tempat semula yang ditertibkan. PKL yang mendatangi kembali lokasi yang sudah ditertibkan tersebut terdiri dari PKL lama yang dulu ditertibkan dan PKL baru yang memilih lokasi tersebut dalam melaksanakan aktivitasnya.
 Fenomena menjamurnya Pedagang Kaki Lima terutama dikota-kota besar terjadi karena :
ü  Adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia berdampak pada banyak perusahaan tidak beroperasi lagi seperti sedia kala oleh karena ketidakmampuan perusahaan menutupi biaya operasionalnya sehingga timbul kebijakan pemutusan hubungan kerja (PHK). Hal ini juga memberi kontribusi terhadap peningkatan jumlah pengangguran yang umumnya bermukim di wilayah perkotaan. Demi mempertahankan hidup, orang-orang yang tidak tertampung dalam sektor formal maupun yang terkena dampak PHK tersebut kemudian masuk ke dalam sektor salah satunya adalah menjadi pedagang Kaki Lima . 
ü  Perencanaan ruang tata kota yang hanya terfokus pada ruang-ruang formal saja yang menampung kegiatan formal. Seiring dengan berjalannya waktu, keberadaan ruang-ruang fomal kota tersebut mendorong munculnya kegiatan informal kota salah satunya di sektor perdagangan, yaitu Pedagang Kaki Lima (PKL) sebagai kegiatan pendukung (activity support). 
ü  Pertumbuhan penduduk kota yang sangat cepat di Indonesia lebih banyak disebabkan adanya arus urbanisasi dan pembengkakan kota. Keadaan semacam ini menyebabkan kebutuhan lapangan kerja di perkotaan semakin tinggi. Seiring dengan hal tersebut, ternyata sektor formal tidak mampu menyerap seluruh pertambahan angkatan kerja. Akibatnya terjadi kelebihan tenaga kerja yang tidak tertampung, mengalir dan mempercepat tumbuhnya sektor informal. Salah satu bentuk perdagangan informal yang penting adalah Pedagang Kaki Lima.

BAB III
KESIMPULAN

Pedagang kaki lima (PKL) dikategorikan sebagai sektor informal perkotaan yang belum terwadahi dalam rencana kota yang resmi, sehingga tidaklah mengherankan apabila para PKL di kota manapun selalu menjadi sasaran utama pemerintah kota untuk ditertibkan. Namun, faktanya berbagai bentuk kebijakan dalam rangka menertibkan PKL yang telah dilakukan oleh pemerintah kota tidak efektif baik dalam mengendalikan PKL maupun dalam meningkatkan kualitas ruang kota. Harus diakui memang pada saat ini adanya penertiban-penertiban yang dilakukan terhadap PKL cenderung menimbulkan permasalahan baru seperti pemindahan lokasi usaha PKL yang justru akan membawa dampak yang dikhawatirkan menurunnya tingkat pendapatan PKL tersebut bila dibandingkan dengan di lokasi asal karena lokasinya menjauh dari konsumen.
Dengan demikian, dapat dikatakan adanya persoalan PKL ini menjadi beban berat yang harus ditanggung pemerintah kota dalam penataan kota. Padahal, bila ditinjau lebih jauh PKL mempunyai kekuatan atau potensi yang besar dalam penggerak roda perekonomian kota sehingga janganlah dipandang sebelah mata bahwa PKL adalah biang kesemrawutan kota dan harus dilenyapkan dari lingkungan kota, dan perlu dicermati pula bahwa kemacetan tersebut tidak semata karena adanya PKL. Ternyata keberadaan mereka sebenarnya sangat membantu bagi orang yang kelas menengah kebawah, dan harus dipikirkan bersama bagaimana dengan potensi yang dimilikinya tersebut dapat diberdayakan sebagai suatu elemen pendukung aktivitas perekonomian kota. Pembinaan PKL tampaknya cukup menjanjikan tapi hal tersebut akan sangat sulit untuk dilakukan karena jumlah PKL yang sangat banyak dan menyebar. Sudah saatnya pemerintah daerah melakukan sebuah terobosan baru yang bersifat win-win solution. Di satu sisi kota bisa terlihat ebih cantik dan di sisi lain PKL bisa mendapat untung lebih banyak.



DAFTAR PUSTAKA

Alisyahbana, (2005), Marginalisasi Sektor Informal Perkotaan, ITS Press, Surabaya.
Ali, Muhammad, (tanpa tahun), Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern, Pustaka Amani, Jakarta..
Effendi, Tadjuddin Noor, (1996) "Perkembangan Penduduk, Sektor Informal, dan Kemiskinan Di Kota" dalam Dwiyanto, Agus, dkk (ed), Penduduk dan Pembangunan, Aditya Media, Jogya, 1996.
Evers, Hans Dieters dan Rudiger, Korf, (2002), Urbanisasi di Asia Tenggara: Makna dan Kekuasaan di Ruang-Ruang Sosial, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Hanandini, Dwiyanti, (2000): Pekerja Anak Sektor Informal Di Terminal Bus dan Angkutan Kota Kotamadya Padang, Laporan Penelitian, Lembaga Penelitian Unand, Padang.
Hanandini, Dwiyanti dkk, (2004), Tindakan Kekerasan di Lingkungan Pekerja Anak Anak Sektor Informal Kota Padang, Laporan Penelitian, Lembaga Penelitian Unand, Padang.
Hidayat, (1983): Situasi Pekerjaan, Setengah Pengangguran dan Kesempatan Kerja di Sektor Informal, Makalah Lokakarya Nasional Angkatan Kerja dan Kesempatan Kerja, November, Jakarta.
Kartono, dkk. (1980), Pedagang Kaki Lima, Universitas Katholik Parahiyangan, Bandung.
Machdaliza, dkk, (2004) ”Jaminan Sosial Tenaga Kerja Di Sektor Informal (Studi Di Pasar Tradisional dan Pedagang Kaki Lima Pasar Raya Kota Padang, Sumatera barat)”, Laporan Penelitian, Lembaga Penelitian Unand, Padang.
Manning, Chris dan  Effendi, Tadjuddin (1995), Urbanisasi, Pengangguran, Dan Sektor Informal Di Kota, Gramedia, Jakarta.
Miles, Mathew B, Huberman Michael (1984), Qualitative Data Analysis: A Sourrccebook of A New Methods, Sage Publications, Beverly Hill, London.
Mustafa, Ali Achsan (2008), Model Transformasi Sosial Sektor Informal, Sejarah, Teori, dan Praksis Pedagang Kaki Lima, Ins-TRANS Publishing, Malang.
Sasono, Adi (1980), Teori Keterbelakangan dan Kemiskinan di Perkotaan, makalah tidak diterbitkan.
Sutrisno, Lukman (1997) Kemiskinan, Perempuan dan Pemberdayaan, Kanisius, Yogyakarta.
Suyanto, Bagong (2008) ”Migran Dianggap sebagai Beban daripada Potensi”, www. Suarasurabaya.net diakses tgl 22 Oktober 2013.
Soesilo, Dwisuryo Indroyono (2008) “Penduduk Miskin Di Desa Turun, Di Kota Naik”, www.indonesia.go.id, diakses tgl 18 Oktober 2013.
Pramono, Wahyu (2000), “Sektor Informal: Sebuah Realitas Sosial di Perkotaan”, Working Paper Sosiologi Andalas, Vol. II No. 5 Mai 2000, Jurusan Sosiologi, FISIP, Universitas Andalas, Padang.
Pramono, Wahyu (2003), ”Studi Deskriptif Dampak Penerapan Kebijakan Pemerintah Kota Padang terhadap  Pedagang Sektor Informal di Pasar Raya Padang”. Laporan Penelitian, Lembaga Penelitian Univ. Andalas, Padang.
Prebisch, Raul (1978), Socio Economic Structure and Crises of Pheriferal Capitalism", Cepal Review, no. 6 1978.
Tokman, Victor E (1978). "An Exploitation Into The Nature of In-formal-Formal Sector Relationship", World Development Vol.6. nos. 9-10, 1978.
Yustika, A. Erani, (2001), Industrialisasi Pinggiran, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Koran, Internet
 “100 PKL di Padang Tuntut Tempat Berdagang”, Padang Ekspres, Rabu, 23 April 2008 - 11:23 wib (diakses tgl 18 Oktober 2013)
Meneg Koperasi Dan UKM Harapkan Sumbar Jadi Contoh Pengelolaan PKL (www.Antara-Sumbar.com, diakses tgl 19 Oktober 2013)
“Pemko Bukittinggi Tertibkan PKL”, PadangKini.com | Jumat, 12/12/2008, 23:03 WIB (diakses tgl 19 Oktober 2013)
“Penggusuran PKL di Padang Ricuh”, Kapanlagi.com.
“Pedagang Kaki Lima Kembali Berunjuk Rasa Bentrokan Warnai Penertiban PKL” (www.kompas.com, diakses 19 Oktober 2013)
“6.000 PKL akan Diregistrasi” (WWW.kadin-Sumbar.co.id) diakses tgl 19 Oktober 2013.






3 komentar:

  1. maaf...ingin cerita pengalaman saya sekaran yang udah lumayan sukses berkat bantuan atas nama aky dewata tanah dgn noy..0852 5555 7816.bagi anda yang mau seperti aq silakan anda berhubungan beliau,trm ksh,wassalam.

    BalasHapus
  2. kisah nyatah
    ini minta maaf terlebih dahulu,mau berbagi sering pengalaman,dulu awalnya aku cuma pedagang biasa,and selalu berusaha ingin sukses,tapi di pertengahan usaha bangkrut dan banyak hutan di mana mana tapi aku tak mau putus asa cari jalan keluar,syukur aku temukan nomor 085217519919 ki songo di webnya dia www.paranormal-kisongo.blogspot.com berkat petunjuk dan arahan beliau aku berhasil bangkit lagi,biarpun aku berhubungan beliau degan jarak jauh aku yakin dan percaya bahwa ini orang yang bisa membantu aku,awal ragu tapi aku beranikan diri telpon beliau degar bicara dan arahan nya,aku yakin ini orang bisa membantu,terima kasih kisongo.wassalam

    BalasHapus
  3. Artikel ini sangat jelek sekali karna sangat sulit di temukan mana dampak positif dan negatif dari pkl,penulisannya sangat berbelit belit dan membuat orang enggan untuk membacanya

    BalasHapus