Rabu, 23 Oktober 2013

DAMPAK POSITIF DAN NEGATIF KEBERADAAN PKL STUDI KASUS: PKL DI KOTA PADANG




BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
            Pertumbuhan kota-kota di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari kehadiran sektor informal, yang secara integral telah merasuk dalam setiap kegiatan kehidupan perkotaan. Keberadaan sektor informal tidak dapat dilepaskan dari proses pembangunan, dimana ketidakseimbangan pembangunan desa dan kota, menarik arus urbanisasi ke kota. Hal ini meyebabkan pertumbuhan jumlah angkatan kerja yang tidak sejalan dengan ketersediaan lapangan kerja. Dalam situasi inilah para pencari kerja lari ke sektor informal dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satu usaha sektor informal adalah pedagang kaki lima (PKL).
             Dalam perkembangannya PKL menghadapkan pemerintah pada kondisi yang dilematis, disatu sisi keberadaannya dapat menciptakan lapangan kerja, sedangkan dilain pihak keberadaan PKL yang tidak diperhitungkan dalam perencanaan tata ruang telah menjadi beban bagi kota. PKL beraktivitas pada ruang-ruang publik kota tanpa mengindahkan kepentingan umum, sehingga terjadinya distorsi fungsi dari ruang tersebut. Pada akhirnya kesesuaian tatanan fisik masa dan ruang kota dalam menciptakan keserasian lingkungan kota sering kali tidak sejalan dengan apa yang telah direncanakan. PKL telah memberikan dampak negatif terhadap tatanan kota, sedangkan terhadap masyarakat keberadaan PKL selain memberikan dampak negatif juga memberikan manfaat/dampak positif terhadap masyarakat.


1.2. Perumusan Masalah
            Dalam makalah ini terdapat beberapa rumusan masalah, yaitu:
1.      Pengertian Pedagang Kaki Lima
2.      Sejarah Pedagang Kaki lima
3.      Dampak positif dan dampak negatif dengan munculnya pedagang kaki lima

1.3 .Tujuan
Dalam pembuatan makalah ini terdapat beberapa tujuan, yaitu:
1.      Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Sektor Ekonomi Informal
2.      Memberikan wawasan kepada mahasiswa dalam mengkaji keberadaan PKL
3.      Menjelaskan berapa pentingnya peranan PKL terhadap sektor informal

BAB II
PEMBAHASAN


2.1.  Pengertian Pedagang Kaki Lima (PKL)
Menurut Poerwadarminta (2000) Pedagang Kaki Lima atau yang biasa disingkat dengan kata PKL adalah istilah untuk menyebut penjaja dagangan yang menggunakangerobak. Istilah itu sering ditafsirkan demikian karena jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga "kaki"gerobak (yang sebenarnya adalah tiga roda atau dua roda dan satu kaki). Dahulu namanya adalah pedagang emperan jalan, sekarang menjadi pedagang kaki lima, namun saat ini istilah PKL memiliki arti yang lebih luas, Pedagang Kaki Lima digunakan pula untuk menyebut pedagang di jalanan pada umumnya. Istilah kaki lima adalah lantai yang diberi atap sebagai penghubung rumah dengan rumah(Kamus Besar Bahasa Indonesia), arti yang kedua adalah lantai (tangga) dimuka pintu atau di tepi jalan. Arti yang kedua ini lebih cenderung diperuntukkan bagi bagian depan bangunan rumah toko, dimana di jaman silam telah terjadi kesepakatan antar perencana kota bahwa bagian depan(serambi) dari toko lebarnya harus sekitar lima kaki dan diwajibkan dijadikan suatu jalur dimana pejalan kaki dapat melintas. Namun ruang selebar kira-kira lima kaki itu tidak lagi berfungsi sebagai jalur lintas bagi pejalan kaki, melainkan telah berubah fungsi menjadi area tempat jualan barang-barang pedagang kecil, maka dari situlah istilah pedagang kaki lima dimasyarakatkan.

2.1.1.  Sektor Informal
Menurut Lukman Sutrisno (1997) secara teoritis sektor informal sudah ada sejak manusia berada di dunia. Fenomena ini terlihat dari kemampuan manusia untuk mencukupi kebutuhan sendiri melalui kerja mandiri tanpa bergantung pada orang lain. Manusia pada awalnya menunjang kehidupannya melalui lapangan kerja yang diciptakan sendiri dan dikerjakan sendiri atau self-employed. Dengan demikian pada saat itu self employed merupakan organisasi produksi yang formal. Kemampuan kerja mandiri tersebut kemudian berubah setelah masuk pengaruh budaya industri dari negara Barat. Ada dua sebab yang mendorong self-employed yang semula merupakan organisasi produksi yang formal menjadi apa yang disebut sekarang sebagai "sektor informal". Pertama, setelah revolusi industri terjadi maka berkembang cara produksi yang lebih terorganisir. Kedua, munculnya negara dan pemerintahan yang mengatur kehidupan manusia yang semakin kompleks memberikan peluang bagi warga negara untuk menjadi birokrat, pegawai negri, polisi, dan tentara. Mereka inilah yang kemudian menjadi buruh dari negara atau pemerintahan. Perkembangan selanjutnya dari para pegawai tersebut dikelompokan menjadi sektor formal dalam jenis pekerjaan. 
Sektor informal  yang lahirnya tidak dikehendaki dalam konteks pembangunan ekonomi, karena dianggap merupakan produk sampingan dari pembangunan sektor formal, mempunyai sifat-sifat yang memang bertentangan dengan sektor formal.  Sifat-sifat sektor informal yang mencerminkan adanya pertentangan dengan sektor formal tersebut antara lain: a). Dari sisi pemasaran, transaksi tawar menawar diluar sistem hukum formal dengan afinitas sosial budaya lebih menonjol, b) Perilaku sosial pelaku berhubungan erat dengan kampung dan daerah asal, c) Merupakan kegiatan illegal sehingga selalu terancam penertiban, d) Pendapatan para pelaku ekonomi sektor ini  syah tetapi disembunyikan disebut black economy atau underground ekonomi, e) Secara umum dipandang melakukan peran periferal dalam ekonomi kota dan beraneka ragam kegiatan, f) Dalam menjalankan usaha terjadi persaingan ketat diantara para pelaku ekonomi di sektor ini, g) Kebanyakan berusaha sendiri, tidak terorganisir, keuntungan  kecil, h) Kegiatan ekonomi di sektor informal tumbuh dari rakyat miskin dikerjakan oleh rakyat miskin, dan sebagian konsumennya adalah rakyat miskin.

Rabu, 16 Oktober 2013

SEJARAH PERBANDINGAN MUHAMMADIYAH dan NU

A. Pendahuluan
Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama (NU) merupakan dua organisasi terbesar di Indonesia yang memiliki massa dalam jumlah puluhan juta orang di berbagai sudut tanah air. Dua organisasi ini telah berdiri jauh sebelum Indonesia merdeka dan mempunyai andil yang besar dalam usaha kemerdekaan negara Indonesia. Selain itu, dari kedua organisasi ini masyarakat Islam di Indonesia menjadi lebih berkembang dan terbina di mana pada waktu itu negara Indonesia masih dalam kungkungan penjajahan Belanda.
Pembahasan mengenai Muhammadiyah dan NU banyak sekali dikupas dalam berbagai macam bahasan yang telah dilakukan banyak orang. Dalam makalah ini kami akan mencoba membandingkan Muhammadiyah dan NU dari segi tubuh organisasi tersebut mulai dari aspek sejarah berdirinya, tujuan didirikannya, program dasar perjuangannya, susunan pengurus dan lembaga / majelis yang mejadi wadah dalam menjalankan semua kegiatan dan tujuan dari organisasi tersebut.
B. Muhammadiyah
1. Sejarah, Faktor dan Tujuan Didirikan Muhammadiyah
Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tanggal 18 November 1912 M yang bertepatan dengan 8 Dzulhijah 1330 H di Yogyakarta. Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh kalangan muhammadiyah yang menjadi faktor didirikannya organisasi ini oleh KH. Ahmad Dahlan antara lain:
a. Ia melihat bahwa umat Islam tidak memegang teguh Alquran dan sunah dalam beramal sehingga tahayul dan syirik merajalela, akhlak masyarakat runtuh. Akibatnya, amalan-amalan mereka merupakan campuran antara yang benar dan yang salah.
b. Lembaga-lembaga pendidikan agama yang ada pada waktu itu tidak efisien. Pesantren yang menjadi lembaga pendidikan kalangan bawah pada masa itu dinilai tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan masyarakat. Pada waktu itu, pendidikan di Indonesia telah terpecah menjadi dua yaitu pendidikan sekular yang dikembangkan oleh Belanda dan pendidikan pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan agama. Akibatnya, terjadi jurang pemisah yang sangat dalam antara golongan yang mendapat pendidikan sekular dan golongan yang mendapat pendidikan di pesantren.
c. Kemiskinan menimpa rakyat Indonesia terutama umat Islam yang sebagian besar adalah petani dan buruh. Orang kaya hanya mementingkan dirinya sendiri dan bahkan banyak ulama lupa mengingatkan umatnya bahwa Islam mewajibkan zakat bagi si kaya, sehingga hak-hak orang miskin menjadi terabaikan.
d. Aktivitas misi Katolik dan Protestan sudah giat beroperasi sejak awal abad ke-19 dan bahkan sekolah-sekolah misi mendapat subsidi dari pemerintah Hindia Belanda.
e. Kebanyakan umat Islam hidup dalam alam fanatisme sempit, yang bertaklid buta, serta berfikir secara dogmatis. Kehidupan umat Islam masih diwarnai dengan konservatisme, formalisme dan tradisionalisme.
Melihat keadaan umat Islam yang demikian, dan didorong oleh pemahamannya yang mendalam terhadap surat Ali Imran ayat 104, KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah sebagai organisasi pembaru dan mengajak umat Islam untuk kembali menjalankan syariat sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Pada mulanya, seperti yang dikutip Umar Hasyim dari Gibb dalam bukunya Modern Tren in Islam, Muhammadiyah sesuai dengan perkembangan yang ada pada masa awal kelahirannya melakukan aktivitas-aktivitas sebagai berikut:
a. Membersihkan Islam di Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan-kebiasaan non-Islam. Hal ini dilakukan dengan mempergiat dan memperdalam dan memperdalam penyelidikan ilmu agama Islam untuk mendapatkan kemurniannya, memperteguh iman, menggembirakan (memotivasi dan memasyarakatkan) dan memperkuat ibadah, mempertinggi akhlak, mempergiat dan menggembirakan dakwah Islam serta amar ma`ruf nahi mungkar, serta mendirikan dan memelihara tempat ibadah dan wakaf.
b. Mengadakan reformulasi doktrin-doktrin Islam dengan pandangan alam pikiran modern.
c. Mengadakan reformasi ajaran-ajaran dan pendidikan Islam. Pembaharuan Muhammadiyah terlihat dari dua sisi ketika itu yaitu memberikan pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah Belanda dan mendirikan sekolah-sekolah sendiri yang berbeda dengan sistem pesantren. Di sekolah ini, di samping pendidikan agama, juga diberikan pendidikan umum, tidak dilakukan pemisahan antara murid laki-laki dan perempuan.
d. Mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan-serangan dari luar. Untuk itu, Muhammadiyah berusaha membentengi para pemuda, wanita, pelajar dan rakyat biasa dengan menimbulkan kesadaran beragama mereka dan berusaha untuk memperbaiki kehidupan dan penghidupan mereka sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.
Keempat hal yang merupakan tujuan ini, telah menjadi aktivitas Muhammadiyah pada awal berdirinya. Tujuan ini dapat dilihat pada anggaran dasar Muhammadiyah ketika diajukan permohonan pengesahan perserikatan Muhammadiyah pada tanggal 20 Desember 1912 M. Di sana terlihat bahwa maksud dan tujuan Muhammadiyah itu disusun secara sederhana dalam dua kalimat, yaitu (a) memajukan serta menggembirakan pelajaran dan pengajaran agama Islam dalam kalangan sekutu-sekutunya, dan (b) memajukan serta menggembirakan hidup sepanjang kemampuan agama Islam dalam kalangan-kalangan sekutunya. Kedua rangkaian tersebut mengandung arti yang sangat dalam yang dijabarkan dalam berbagai aktivitas Muhammadiyah ketika itu. Sebagai badan hukum, Muhammadiyah baru diakui secara resmi oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 22 Agustus 1914 M, dua tahun setelah KH. Ahmad Dahlan mengajukan permohonannya.
Setelah pemerintahan Hindia Belanda digantikan oleh pemerintah Jepang, izin permohonan dari pemerintah Jepang tertuang dalam surat keputusan pemerintahan militer Jepang di Jawa-Madura pada tanggal 10 September 1943, dengan syarat: (a) tidak boleh mengorganisasi kaum wanita sendiri seperti fujinkai, dan tidak boleh mengorganisasi kaum pemuda dan anak-anak seperti seinendan dan syenendam, dan (b) dalam anggaran dasar harus dinyatakan dan ditulis bahwa kemakmuran bersama di Asia Timur Raya berada di bawah pimpinan Dai Nippon, dan hal itu harus dinyakini sebagai yang diperintahkan oleh Tuhan.
2. Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah
Keyakinan dan cita-cita hidup Muhammadiyah yang dirumuskan dalam sidang tanwir (institusi tertinggi dalam Muhammadiyah setingkat di bawah muktamar) pada tahun 1978 menjelang muktamar Muhammadiyah ke-37 di Yogyakarta, memuat prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Muhammadiyah adalah gerakan yang berasaskan Islam, bekerja dan bercita-cita untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya untuk melaksanakan fungsi dan misi manusia sebagai hamba dan khlifah di muka bumi.
b. Muhammadiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah agama Allah SWT yang diwahyukan kepada para Rasul-Nya sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad SAW sebagai hidayah dan rahmat Allah SWT kepada umat manusia sepanjang masa dan menjamin kesejahteraan materiil dan spiritual, duniawi dan ukhrawi.
c. Muhammadiyah mengamalkan Islam berdasarkan Alquran dan sunah Rasulullah SAW, serta menggunakan akal pikiran sesuai dengan ajaran Islam.
d. Muhammadiyah bekerja demi terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidang-bidang akidah, akhlak, ibadah, dan muamalah (kemasyakatan) duniawi.
e. Muhammadiyah mengajak segenap lapisan bangsa Indonesia yang telah mendapat karunia Allah SWT, berupa tanah air yang mempunyai sumber kekayaan, kemerdekaan bangsa dan negara Republik Indonesia yang berfilsafat pancasila untuk berusaha bersama-sama menjadikannya suatu negara adil dan makmur yang diridhai oleh Allah SWT.
3. Pola dasar dan program dasar perjuangan Muhammadiyah
Dalam melaksanakan usaha-usaha di berbagai bidang kehidupan sebagai yang tercantum dalam anggaran dasar Muhammadiyah pasal 4 (11 butir) dan hasil penyesuaian dalam muktamar Muhammadiyah ke-40 tahun 1978 di Surabaya, Muhammadiyah berpedoman pada khittah perjuangan yang terdiri dari dua pola yaitu pola dasar perjuangan dan program dasar perjuangan. Pola dasar perjuangan Muhammadiyah terdiri atas:
a. Muhammadiyah berjuang untuk mencapai atau mewujudkan suatu cita-cita dan keyakinan hidup yang bersumber pada ajaran Islam.
b. Dakwah Islam dan amar ma`ruf nahi mungkar dalam arti dan proporsi yang sebenar-benarnya sebagaimana yang dituntunkan oleh Muhammadiyah SAW adalah satu-satunya jalan untuk mencapai cita-cita dan keyakinan hidup tersebut.
c. Dakwah Islam dan amar ma`ruf nahi mungkar tersebut harus melalui dua saluran secara serempak yaitu: (a) saluran politik kenegaraan (politik praktis), dan (b) saluran masyarakat.
d. Untuk melakukan dakwah Islam amar ma`ruf nahi mungkar seperti yang dimaksud di atas, dibuat alat-alat yang berupa organisasi yaitu: (a) untuk saluran politik kenegaraan (politik praktis) dengan alat organisasi politik (partai), dan (b) untuk saluran masyarakat dengan alat organisasi non-partai.
e. Muhammadiyah sebagai organisasi memilih dan menempatkan diri sebagai gerakan islam dan amar ma`ruf nahi mungkar dalam bidang masyarakat. Untuk alat perjuangan dalam bidang kenegaraan, Muhammadiyah menyerahkannya kepada partai politik di luar organisasi Muhammadiyah.
f. Muhammadiyah harus menyadari bahwa partai tersebut adalah sasaran amar ma`ruf nahi mungkar.
g. Antara partai dan Muhammadiyah tidak ada hubungan organisatoris tetapi tetap mempunyai hubungan kemasyarakatan.
h. Masing-masing berdiri dan berjalan sendiri-sendiri menurut caranya sendiri-sendiri.
i. Pada prisnsipnya, tidak dibenarkan adanya perangkapan jabatan terutama jabatan pimpinan antara keduanya, demi tertibnya pembagian pekerjaan (spesialisasi).
Selanjutnya mengenai program dasar perjuangan Muhammadiyah dirumuskan dalam langkah kebijaksanaan sebagai berikut:
a. Memulihkan kembali Muhammadiyah sebagai perserikatan yang menghimpun sebagian anggota masyarakat yang terdiri atas muslimin dan muslimat yang beriman teguh, taat beribadah, berakhlak mulia, dan menjadi teladan yang baik di tengah-tengah masyarakat.
b. Meningkatkan pengertian dan kematangan anggota Muhammadiyah tentang hak dan kewajibannya sebagai warga negara Republik Indonesia dan meningkatkan kepekaan sosialnya terhadap persoalan-persoalan dan kesulitan hidup masyarakat.
c. Menempatkan kedudukan perserikatan Muhammadiyah sebagai gerakan untuk melaksanakan dakwah amar ma`ruf nahi mungkar ke segenap penjuru dan lapisan masyarakat serta di segala bidang kehidupan di negara Indonesia yang berdasarkan pancasila dan undang-undang dasar (UUD) 1945.
4. Struktur Pengurus Muhammadiyah
Menurut anggaran dasar pasal 6 dan anggaran rumah tangga Muhammadiyah, perserikatan Muhammadiyah terdiri atas beberapa tingkat yaitu:
a. Ranting: kesatuan anggota di suatu tempat dan merupakan satuan organisasi terbawah. Ranting ini dapat berdiri jika anggota Muhammadiyah di tempat tersebut lebih dari lima orang dan akan mempunyai amal usaha sebagai wadah gerakan mereka.
b. Cabang: kesatuan ranting-ranting dalam suatu tempat. Untuk itu, satu cabang dapat didirikan bila di daerah tersebut sudah ada paling sedikit tiga ranting dan mempunyai amal usaha sebagai wadah gerakan dalam mencapai tujuan. Cabang ini setingkat dengan kecamatan dalam pemerintahan.
c. Daerah: kesatuan cabang dalam sebuah kabupaten atau kota madya yang terdiri sekurang-kurangnya tiga cabang yang telah disahkan dan mempunyai amal usaha sebagai wadah perjuangan dalam mencapai tujuan perserikatan.
d. Wilayah: kesatuan daerah-daerah dalam sebuah propinsi atau yang setingkat serta berkedudukan di ibu kota propinsi. Suatu wilayah dapat terbentuk jika di wilayah tersebut telah ada paling tidak tiga daerah yang disahkan dan mempunyai amal usaha sebagai wadah perjuangan untuk tercapainya tujuan perserikatan Muhammadiyah.
Pimpinan Muhammadiyah juga bertingkat, mulai dari pimpinan pusat, pimpinan wilayah, pinpinan daerah, pimpinan cabang dan pimpinan ranting. Pimpinan dalam segala tingkat struktur Muhammadiyah, vertikal dan horizontal , adalah orang-orang yang telah memenuhi syarat sebagaimana yang tercantum dalam pasal 5 anggaran rumah tangga Muhammadiyah yaitu telah menjadi anggota paling kurang 1 tahun, setia kepada asas, tujuan dan perjuangan perserikatan, taat kepada garis kebijaksanaan pusat, mampu dan cakap menjalankan tugas, dapat menjadi teladan yang baik bagi umat, tidak merangkap pimpinan organisasi politik dan lain sebagainya.

Jumat, 17 Mei 2013

Cendekiawan Abdi Negara


Cendekiawan Budaya Birokrat Indonesia –dari Abdi Dalem hingga Abdi Negara
Oleh:
 Andre Vetronius[1]


Pendahuluan
Cendekiawan atau intelektual ialah orang yang menggunakan kecerdasannya untuk  bekerja, belajar, membayangkan, menggagas, atau menyoal  dan menjawab persoalan tentang brbagai gagasan. Kata cendekiawan berasal dari Chanakya seorang politikus dalam pemerintahan Chandragupta dari kekaisaran Maurya. Tak bisa dipungkiri juga cendekiawan yang akan menjadi abdi negara dan masyarakat.

Setiap warga negara akan selalu berhubungan dengan aktivitas Birokrasi Pemerintahan. Bahkan ketika seseorang masih berada dalam kandungan ia sudah mulai tergantung dengan pelayanan birokrasi. Apakah untuk keperluan pemeriksaan kesehatan (di RS atau Puskesmas ) atau setelah lahir dan harus mendapatkan “sertifikat sebagai warga dunia” berupa akta kelahiran. Ketergantungan  dengan birokrasi itu terus berlanjut, seiring dengan bertambahnya usia seseorang atau sejalan dengan ragam aktivitas yang dilakukan ditengah masyarakat. Sementara itu, jenis pelayanan umum yang diselenggarakan birokrasipun sangat kompleks  dan bahkan memasuki hampir setiap aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Intervensi birokrasi yang demikian ini, sah-sah saja adanya, karena justru untuk menyelenggarakan fungsi itulah birokrasi  dibentuk.  
      Merupakan hal yang logis, jika kemudian birokrat atau aparatur publik itu dijuluki  Abdi Negara, karena pada pundaknya tugas-tugas kemasyarakatan, pemerintahan dan pembangunan diselenggarakan atas nama “organisasi politik super besar” yang disebut “negara”. Namun penting diingat, legitimasi yang diterima para abdi negara itu bersumber dari kepercayaan rakyat yang berdaulat. Artinya, seorang abdi negara  adalah seseorang yang mengemban amanat rakyat untuk mengayomi kepentingan kepentingan mereka (rakyat). Jadi, jika dikaitkan dengan sumber legitimasi ini, maka seseorang aparatur negara/ publik (pegawai negeri, birokrat atau abdi negara) itu, sesungguhnya adalah seorang abdi masyarakat. Ini berarti, bahwa tugas aparatur publik adalah melayani  masyarakatnya (public service).
       Kompleksnya pelayanan umum yang diberikan birokrasi, semakin mengabsahkan jaringan hirarkinya yang terbentang luas dari pusat hingga ke pelosok desa. Mengemban amanat rakyat, mengayomi dan memberikan pelayanan kepada mayarakat, mengadministrasikan tugas tugas pemerintahan dan pembangunan, adalah sebagian besar dari tanggung jawab yang diembannya. Dengan berbekal kode etik “Sapta Prasetya”, iapun dituntut berprilaku bersih sehingga wibawa dan kemuliaan memancar dari korpnya
Sudah sewajarnyalah rakyat berterima kasih kepada para “abdi” nya itu dan kemudian menaruh hormat terhadap lembaga atau korpnya. Tidak ada alasan bagi rakyat untuk tidak respek terhadap birokrasi. Namun ironisnya, persepsi masyarakat selama ini terhadap birokrasi tidaklah demikian adanya. Kondisi faktual dimasyarakat menunjukkan, bahwa berhubungan dengan birokrasi berarti berhadapan dengan kekuasaan perijinan yang menjelimet, penghormatan dari meja ke meja, atau bahkan formalisme yang eksesif.. Yang lebih parah lagi,acapkali rakyat diposisikan sebagai pembeli jasa yang harus siap membeli tiket layanan alias  amplop pelican,sekedar untuk mendapatkan layanan birokrasi. Hal ini disebabkan karena prosedur pelayanan yang semestinya memudahkan masyarakat sering ditunggangi kepentingan pribadi birokrat dan tidak jarang dijadikan komoditi layak jual.
Fenomena ini berlanjut mentradisi dalam korp birokrasi, meskipun sesungguhnya instrumen untuk menyikapinya sudah tersedia (misalnya, sistem pengawasan). Masyarakat pengguna jasa menganggap produk layanan birokrasi itu bukan lagi haknya yang dengan mudah dapat diperoleh (hanya dengan mengganti biaya bahan baku produk tersebut), melainkan telah memandang birokrasi itu sesuatu yang harus diakses dengan  koneksi tertentu mirip mekanisme hukum pasar. Dengan demikian ketentuan bahwa birokrasi memiliki kewajiban untuk melayani masyarakat menjadi berbalik, karena masyarakatlah yang harus “pintar” melayani kemauan birokrasi tersebut. Berangkat dari sinilah, fenomena kolusi, pungli dan penguasa perijinan dipersepsikan oleh masyarakat identik dengan birokrasi itu sendiri.
 “ Jargon abdi masyarakat hanyalah tinggal kenangan belaka atau sekedar slogan yang indah ?”.
            Menyikapi keadaan yang demikian itu, wajar jika kemudian timbul pertanyaan seputar peran birokrasi sebagai lembaga penyelenggara pelayanan masyarakat. “Benarkah birokrat itu abdi masyarakat?”
          Gejala phatologis birokrasi seperti yang telah dipaparkan diatas itu, menjadi semakin kronis ketika tumor tumor birokrasi lainnya, turut menghias kinerja birokrasi seperti : adanya proliferasi dan struktur ganda, instransparansi pertanggungjawaban (yang menyulut lahirnya manipulasi dan korupsi ), aplikasi patronase dalam rekrutmen pegawai (yang menyuburkan nepotisme dan suap), serta praktik mal-administrasi maupun mis-manajemen lainnya.
          Meskipun kondisi yang diungkapkan itu belum sepenuhnya dapat digeneralisir, apapun alasannya, fenomena yang demikian itu tentu tidak dapat dibiarkan berlarut. Sebab, jika fenomena phatologis itu dibiarkan menahun, maka tidaklah mustahil “krisis kepercayaan” masyarakat terhadap birokrasi suatu saat akan berubah menjadi destruktif. Dibeberapa tempat, ketakutan kaum birokrat elit untuk menggunakan kendaraan “plat merahnya” karena khawatir akan menjadi sasaran amuk massa, adalah indikator bahwa posisi rakyat telah berseberangan dengan birokrasi.
          Penting diingat bahwa, kita  tidak apriori dengan prestasi pembangunan yang berhasil dicapai selama ini, yang sebagian besar merupakan andil birokrasi dalam totalitas kinerjanya.Akan tetapi,  prestasi birokrasi dalam pembangunan itu akan tenggelam begitu saja jika penyakit birokrasi yang diderita selama ini, betapapun ringannya, dibiarkan terus tanpa solusi “penyembuhan”.

Secara umum terdapat tiga pengertian modren untuk istilah cendekiawan yaitu;
1.      Mereka yang amat terlibat dalam idea-idea dan buku-buku
2.      Mereka yang mempunyai keahlian dalam budaya dan seni yang memberikan mereka kewibawaan kebudayaan dan yang kemudian mempergunakan kewibawaan itu untuk mendiskusikan perkara-perkara lain di khalayak ramai. Golongan ini dipanggil sebagai intelektual budaya.
3.      Dari segi Marxisme mereka tergolong dalam kelas dosen, guru, pengacara, wartawan dan sebagainya.
Oleh karena itu cendekiawan sering dikaitkan dengan mereka yang lulusan universitas. Namun,Sharif Shaary, dramawan Malaysia terkenal mengatakan bahwa hakikatnya tidak semudah itu ia berkata:
“Belajar di Universitas buakan jaminan seseorang dapat menjadi cendekiawan. Seorang cendekiawan adalah pemikir yang senantiasa berpikir dan mengembangkan (serta) menyumbangkan gagasannya untuk  kesejahteraan masyarakat. Ia juga adalah seorang yang mempergunakan ilmu dan ketajaman pikirannya untuk mengkaj, menganalisis, merumuskan segala perkara dalam kehidupan manusia, terutama masyarakat dimana ia hadir khususnya dan diperingkat global umum untuk mencari kebenaran dan menegakkan kebenaran itu. Lebih dari itu, seorang intelektual juga seseorang yang mengenali kebenaran dan berani memperjuangkan kebenaran itu, meskipun menghadapi tekanan dan ancama, terutama sekali kebenaran, kemajuan, kebebasan untuk rakyat.

Tiga Tahap Perkembangan Cendekiawan atau Intelektual
Menurut August Comte ada tiga tahap perkembangan cendekiawan atau intelektual yang masing-masing merupakan perkembangan dari tahap sebelumnya:
1.      Tahap teologis; tingkat pemikiran manusia bahwa semua benda didunia mempunyai jiwa dan itu disebabkan oleh suatu kekuatan yang berada di atas manusia.
2.      Tahap metafisis; tahap manusia mengganggap bahwa didalam setiap gejala terdapat kekuatan atau inti tertentu yang pada akhirnya akan dapat diungkapkan. Oleh karena adanya kepercayaan bahwa setiap cita-cita terkait pada suatu realitas tertentu dan tiadak ada usaha untuk menemukan hukum-hukum alam yang seragam.
3.      Tahap positif;tahap dimana manusia mulai berpikir secara ilmiah.
Cendekiawan bisu dan palsu
Sharif shaary menegaskan bahawa seorang cendekiawan bukan hanya sekedar berpikir tentang kebenaran tetapi harus menyuarakannya apapun rintangannya. Seorang cendekiawan yang benar tidak boleh netral dan harus memihak kepada kebenaran dan keadilan. Dia tidak boleh menjadi cendekiawan bisu , kecuali dia betul-betul bisu atau dibisukan.
Jika betul-betul bisu seorang cendekiawan masih dapat bertinfak dengan menyatakan pikiran melalui penulisan yang akhirnya akan sampai juga kepada khayalak ramai. Inilah yang dikatakan cendekiawan bisu yang tidak bisu. Sebaliknya, terdapat Cendekiawan yang bisu tapi tidak bisu. Dia menjadi bisu mungkin karena dia takut atau berkepentingan.
Cendekiawan palsu akan mengelabui mata dan pikiran rakyat denagan kebenaran palsu melalui penyelewengan fakta dan pernyataan keliru. Cendekiawan palsu banya menggunakan retorika kosong. Tong kosong nyaring bunyinya, kata-kata bijak itu sangat cocok bual hal tersebut.

Cendekiawan menjadi Abdi Negara dan Masyarakat
            Peningkatan kapasitas birokrasi sebagai abdi negara yang melayani kepentingan masyarakat, masih jauh dari harapan. Program Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PAN-RB), seakan membuahkan hasil memadai, meski berbagai upaya telah dilakukan. Mengapa ? Sesungguhnya akar penyebabnya terdapat pada budaya birokrasi di negara ini, yang merupakan hasil kombinasi dari watak dan karakter birokrasi yang diwarisi dari masa sebelumnya.
            Secara sosiologi, birokrasi dan birokrat, adalah institusi dan kelompok masyarakat yang dalam keseharian menjadi pejabat atau pegawai pemerintah. Di Indonesia mereka disebut “Pegawai Negeri,” dan pada masa sebelumnya juga ada beberapa sebutan tentang mereka. Dimasa Indonesia dibawah raja-raja feodal, misalnya, mereka disebut sebagai “kaum priyayi atau abdi dalem.” Sedangkan dimasa penjajahan Belanda disebut “kaum ambtenaar,” dan setelah Indonesia merdeka disebut “Pegawai Negeri.”
          Namun setelah Indonesia merdeka mereka disebut “abdi negara.” Kendati secara formal disebut “Pegawai Negeri” (sipil dan mili­ter).
          Selain itu dikenal sebutan “Pamong Praja,” yang diambil dari bahasa Sansekerta yang kurang lebih bermakna “pengasuh pemerin­tahan”. Sedang dalam ilmu-ilmu sosial dan politik, lazimnya disebut sebagai “kaum birokrat”. Dari istilah ini, tentu sudah tergambar, faktor apa yang menjadi landasan kekuatan serta kekuasaan politik yang mereka miliki.

Birokrat Sebagai Penguasa
          Sebagai unsur yang berfungsi menjalankan tugas pemerintahan, tentu peranan kaum birokrat sangat vital, dominan dan strategis. Bahkan kendati saat ini telah tampil para politisi sebagai penguasa baru, peranan para birokrat tetap strategis. Bahkan tak jarang para politisi mengadopsi kultur birokrat sehingga mengundang masalah baru, yakni: Politisasi Birokrasi Pemerintahan. Hal ini antara lain dari tingginya minat para politisi berebutjabatan di instansi pemer­intahan dan badan-badan usaha milik negara. Kenyataan menunjukkan kuatnya domina­si kaum birokrat di berbagai aspek kehidupan, hingga kini kuat dan menentukan, terutama dalam aspek ekonomi dan politik. Mereka dengan berlindung di seragam “abdi negara”, mampu menggerakkan berbagai lini dan mesin birokrasi pemerintahan, sehingga sangat strategis menjadi tonggak utama penyangga kekuasaan politik yang paling tangguh.

Posisi dan Peran Birokrat
          Saat ini para birokrat dipersatukan dalam satu wadah yakni “Korps Pegawai Republik Indonesia” (KORPRI). Adanya legitimasi politik kepada para “abdi negara” memberikan keunggulan tersendiri. Sebab, predikat dengan predikat itu selain cukup memberi kehormatan bagi mereka juga dapat dimanfaatkan untuk membenarkan berbagai tindakan dan perilaku mereka. Alasan “tugas negara” jadi tameng pelindung kepentingan pribadi dan atau kelompok.
          Status dan kedudukan birokrat, memang sangat ampuh untuk mengangkat harkat dan martabat seseorang. Demikian pula untuk mengendalikan masyarakat. Ini dapat menjelaskan mengapa jadi birokrat selalu jadi cita-cita orang Indonesia. Adalah kenyataan setiap ada penerimaan calon pegawai negeri, jumlah peminatnya sangat banyak. Bahkan, agar diterima sebagai pegawai negeri, kerap ada diantaranya rela menyogok hingga mencapai jutaan rupiah. Menilik standar gaji (resmi) seorang pegawai negeri, serta tingginya kompetisi memperebutkan status sebagai birokrat, tentu jelas yang mereka kejar bukan faktor gaji semata. Tapi paling utama, adalah berbagai kepentingan yang melekat padanya seperti, kehorma­tan, kekuasaan, fasilitas, dan sebagainya, yang secara tidak langsung pada gilirannya dimanfaatkan untuk mengem­balikan pengorbanan yang sudah diberikan pada saat masuk lingkungan pegawai negeri tadi.
          Kedudukan dan status sebagai birokrat, memang dianggap sangat istimewa dalam tradisi masyarakat Indonesia. Sebab, apapun yang terucap oleh para birokrat, seringkali dianggap sma dengan hukum yang mengikat setiap warga masyarakat. Kecenderungan seperti ini, telah melembaga, dan telah mapan. Akibatnya, etos kehidupan para birokrat tumbuh dengan karakteristik yang khas. Yakni, karateristik yang identik dengan gaya hidup “priyayi.”

HISTORIOGRAFI INDONESIA “SUMBANGSIHNYA DALAM MENCARI AKAR IDENTITAS INDONESIA"

HISTORIOGRAFI INDONESIA
“SUMBANGSIHNYA DALAM MENCARI AKAR IDENTITAS INDONESIA”
Oleh ;
Andre Vetronius[1]


Pendahuluan
Dalam sebuah artikel yang berjudul “Yamin dan Hamka; dua jalan menuju identitas Indonesia”, yang ditulis oleh Deliar Noer[2] menyandingkan kedua tokoh tersebut dalam lintasan sejarah bangsa, tetapi dalam jalur berbeda, baik latar belakang mereka maupun kiprah mereka untuk bangsa. Semua predikat yang dimiliki Hamka ada pada Yamin, kecuali keulamaannya, atau keahlian di bidang agama Islam. Yamin lebih dikenal sebagai tokoh nasionalis “sekuler” dan sejak mudanya telah menjadi aktivis politik di lingkaran pusat kaum pergerakan di Batavia serta pernah menduduki kursi pejabat tinggi negara, sesuatu yang tidak diperankan oleh Hamka.
Deliar Noer merupakan sosok yang sangat unik dalam tulisannya tentang perdebatan antara Islam dan Negara tersebut. Dengan latar belakang pendidikan barat pemikiran agamanya kerap disandingkan dengan Nurcholis Madjid yang memilki pola pemikiran yang meyakini bahwa hubungan islam dan politik tidaklah organis. Namun sosok Deliar Noer adalah sosok islamis dengan berlatarbelakang masyumi dan kerap diindetikkan dengan ketokohan M.Natsir yang lebih bercorak fundamentalis.
Deliar Noer (1926-2008) merupakan sosok intelektual islam, hal itu tercemin dari berbagai tulisan,karya yang dihasilkannya tak sedikit menyinggung tentang gerakan islam dan kenegaraan. Salah satu karya yang dihasilkannya “Gerakan Modren Islam di Indonesia 1900-1942”. Selain itu ia juga pernah dipercayai sebagai ketua umum HMI (1952-1953), pada masa awal Orde Baru ia juga terlibat dalam proses pendirian partai PDII (Partai Demokrasi Islam Indonesia).
Persoalannya sekarang, sejauhmana intensitas dan kepedulian atau apresiasi kita terhadap hal itu, sehingga sumber-sumber yang dimaksud mampu berbicara kepada kita bahwa setiap daerah mempunyai sejarah, yang juga harus dapat diperhitungkan dalam pergumulan perkembangan sejarah Indonesia sepanjang abad. Rekonstruksi historiografi, untuk melihat seberapa jauh keterkaitan peristiwa-peristiwa ditingkat lokal dengan peristiwa yang lebih luas, Nasional maupun Internasional menjadi sebuah tuntutan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi sebagai wujud dari pencarian identitas bangsa dalam kerangka satu kesatuan yang utuh dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia.