Rabu, 16 Oktober 2013

SEJARAH PERBANDINGAN MUHAMMADIYAH dan NU

A. Pendahuluan
Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama (NU) merupakan dua organisasi terbesar di Indonesia yang memiliki massa dalam jumlah puluhan juta orang di berbagai sudut tanah air. Dua organisasi ini telah berdiri jauh sebelum Indonesia merdeka dan mempunyai andil yang besar dalam usaha kemerdekaan negara Indonesia. Selain itu, dari kedua organisasi ini masyarakat Islam di Indonesia menjadi lebih berkembang dan terbina di mana pada waktu itu negara Indonesia masih dalam kungkungan penjajahan Belanda.
Pembahasan mengenai Muhammadiyah dan NU banyak sekali dikupas dalam berbagai macam bahasan yang telah dilakukan banyak orang. Dalam makalah ini kami akan mencoba membandingkan Muhammadiyah dan NU dari segi tubuh organisasi tersebut mulai dari aspek sejarah berdirinya, tujuan didirikannya, program dasar perjuangannya, susunan pengurus dan lembaga / majelis yang mejadi wadah dalam menjalankan semua kegiatan dan tujuan dari organisasi tersebut.
B. Muhammadiyah
1. Sejarah, Faktor dan Tujuan Didirikan Muhammadiyah
Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tanggal 18 November 1912 M yang bertepatan dengan 8 Dzulhijah 1330 H di Yogyakarta. Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh kalangan muhammadiyah yang menjadi faktor didirikannya organisasi ini oleh KH. Ahmad Dahlan antara lain:
a. Ia melihat bahwa umat Islam tidak memegang teguh Alquran dan sunah dalam beramal sehingga tahayul dan syirik merajalela, akhlak masyarakat runtuh. Akibatnya, amalan-amalan mereka merupakan campuran antara yang benar dan yang salah.
b. Lembaga-lembaga pendidikan agama yang ada pada waktu itu tidak efisien. Pesantren yang menjadi lembaga pendidikan kalangan bawah pada masa itu dinilai tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan masyarakat. Pada waktu itu, pendidikan di Indonesia telah terpecah menjadi dua yaitu pendidikan sekular yang dikembangkan oleh Belanda dan pendidikan pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan agama. Akibatnya, terjadi jurang pemisah yang sangat dalam antara golongan yang mendapat pendidikan sekular dan golongan yang mendapat pendidikan di pesantren.
c. Kemiskinan menimpa rakyat Indonesia terutama umat Islam yang sebagian besar adalah petani dan buruh. Orang kaya hanya mementingkan dirinya sendiri dan bahkan banyak ulama lupa mengingatkan umatnya bahwa Islam mewajibkan zakat bagi si kaya, sehingga hak-hak orang miskin menjadi terabaikan.
d. Aktivitas misi Katolik dan Protestan sudah giat beroperasi sejak awal abad ke-19 dan bahkan sekolah-sekolah misi mendapat subsidi dari pemerintah Hindia Belanda.
e. Kebanyakan umat Islam hidup dalam alam fanatisme sempit, yang bertaklid buta, serta berfikir secara dogmatis. Kehidupan umat Islam masih diwarnai dengan konservatisme, formalisme dan tradisionalisme.
Melihat keadaan umat Islam yang demikian, dan didorong oleh pemahamannya yang mendalam terhadap surat Ali Imran ayat 104, KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah sebagai organisasi pembaru dan mengajak umat Islam untuk kembali menjalankan syariat sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Pada mulanya, seperti yang dikutip Umar Hasyim dari Gibb dalam bukunya Modern Tren in Islam, Muhammadiyah sesuai dengan perkembangan yang ada pada masa awal kelahirannya melakukan aktivitas-aktivitas sebagai berikut:
a. Membersihkan Islam di Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan-kebiasaan non-Islam. Hal ini dilakukan dengan mempergiat dan memperdalam dan memperdalam penyelidikan ilmu agama Islam untuk mendapatkan kemurniannya, memperteguh iman, menggembirakan (memotivasi dan memasyarakatkan) dan memperkuat ibadah, mempertinggi akhlak, mempergiat dan menggembirakan dakwah Islam serta amar ma`ruf nahi mungkar, serta mendirikan dan memelihara tempat ibadah dan wakaf.
b. Mengadakan reformulasi doktrin-doktrin Islam dengan pandangan alam pikiran modern.
c. Mengadakan reformasi ajaran-ajaran dan pendidikan Islam. Pembaharuan Muhammadiyah terlihat dari dua sisi ketika itu yaitu memberikan pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah Belanda dan mendirikan sekolah-sekolah sendiri yang berbeda dengan sistem pesantren. Di sekolah ini, di samping pendidikan agama, juga diberikan pendidikan umum, tidak dilakukan pemisahan antara murid laki-laki dan perempuan.
d. Mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan-serangan dari luar. Untuk itu, Muhammadiyah berusaha membentengi para pemuda, wanita, pelajar dan rakyat biasa dengan menimbulkan kesadaran beragama mereka dan berusaha untuk memperbaiki kehidupan dan penghidupan mereka sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.
Keempat hal yang merupakan tujuan ini, telah menjadi aktivitas Muhammadiyah pada awal berdirinya. Tujuan ini dapat dilihat pada anggaran dasar Muhammadiyah ketika diajukan permohonan pengesahan perserikatan Muhammadiyah pada tanggal 20 Desember 1912 M. Di sana terlihat bahwa maksud dan tujuan Muhammadiyah itu disusun secara sederhana dalam dua kalimat, yaitu (a) memajukan serta menggembirakan pelajaran dan pengajaran agama Islam dalam kalangan sekutu-sekutunya, dan (b) memajukan serta menggembirakan hidup sepanjang kemampuan agama Islam dalam kalangan-kalangan sekutunya. Kedua rangkaian tersebut mengandung arti yang sangat dalam yang dijabarkan dalam berbagai aktivitas Muhammadiyah ketika itu. Sebagai badan hukum, Muhammadiyah baru diakui secara resmi oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 22 Agustus 1914 M, dua tahun setelah KH. Ahmad Dahlan mengajukan permohonannya.
Setelah pemerintahan Hindia Belanda digantikan oleh pemerintah Jepang, izin permohonan dari pemerintah Jepang tertuang dalam surat keputusan pemerintahan militer Jepang di Jawa-Madura pada tanggal 10 September 1943, dengan syarat: (a) tidak boleh mengorganisasi kaum wanita sendiri seperti fujinkai, dan tidak boleh mengorganisasi kaum pemuda dan anak-anak seperti seinendan dan syenendam, dan (b) dalam anggaran dasar harus dinyatakan dan ditulis bahwa kemakmuran bersama di Asia Timur Raya berada di bawah pimpinan Dai Nippon, dan hal itu harus dinyakini sebagai yang diperintahkan oleh Tuhan.
2. Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah
Keyakinan dan cita-cita hidup Muhammadiyah yang dirumuskan dalam sidang tanwir (institusi tertinggi dalam Muhammadiyah setingkat di bawah muktamar) pada tahun 1978 menjelang muktamar Muhammadiyah ke-37 di Yogyakarta, memuat prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Muhammadiyah adalah gerakan yang berasaskan Islam, bekerja dan bercita-cita untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya untuk melaksanakan fungsi dan misi manusia sebagai hamba dan khlifah di muka bumi.
b. Muhammadiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah agama Allah SWT yang diwahyukan kepada para Rasul-Nya sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad SAW sebagai hidayah dan rahmat Allah SWT kepada umat manusia sepanjang masa dan menjamin kesejahteraan materiil dan spiritual, duniawi dan ukhrawi.
c. Muhammadiyah mengamalkan Islam berdasarkan Alquran dan sunah Rasulullah SAW, serta menggunakan akal pikiran sesuai dengan ajaran Islam.
d. Muhammadiyah bekerja demi terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidang-bidang akidah, akhlak, ibadah, dan muamalah (kemasyakatan) duniawi.
e. Muhammadiyah mengajak segenap lapisan bangsa Indonesia yang telah mendapat karunia Allah SWT, berupa tanah air yang mempunyai sumber kekayaan, kemerdekaan bangsa dan negara Republik Indonesia yang berfilsafat pancasila untuk berusaha bersama-sama menjadikannya suatu negara adil dan makmur yang diridhai oleh Allah SWT.
3. Pola dasar dan program dasar perjuangan Muhammadiyah
Dalam melaksanakan usaha-usaha di berbagai bidang kehidupan sebagai yang tercantum dalam anggaran dasar Muhammadiyah pasal 4 (11 butir) dan hasil penyesuaian dalam muktamar Muhammadiyah ke-40 tahun 1978 di Surabaya, Muhammadiyah berpedoman pada khittah perjuangan yang terdiri dari dua pola yaitu pola dasar perjuangan dan program dasar perjuangan. Pola dasar perjuangan Muhammadiyah terdiri atas:
a. Muhammadiyah berjuang untuk mencapai atau mewujudkan suatu cita-cita dan keyakinan hidup yang bersumber pada ajaran Islam.
b. Dakwah Islam dan amar ma`ruf nahi mungkar dalam arti dan proporsi yang sebenar-benarnya sebagaimana yang dituntunkan oleh Muhammadiyah SAW adalah satu-satunya jalan untuk mencapai cita-cita dan keyakinan hidup tersebut.
c. Dakwah Islam dan amar ma`ruf nahi mungkar tersebut harus melalui dua saluran secara serempak yaitu: (a) saluran politik kenegaraan (politik praktis), dan (b) saluran masyarakat.
d. Untuk melakukan dakwah Islam amar ma`ruf nahi mungkar seperti yang dimaksud di atas, dibuat alat-alat yang berupa organisasi yaitu: (a) untuk saluran politik kenegaraan (politik praktis) dengan alat organisasi politik (partai), dan (b) untuk saluran masyarakat dengan alat organisasi non-partai.
e. Muhammadiyah sebagai organisasi memilih dan menempatkan diri sebagai gerakan islam dan amar ma`ruf nahi mungkar dalam bidang masyarakat. Untuk alat perjuangan dalam bidang kenegaraan, Muhammadiyah menyerahkannya kepada partai politik di luar organisasi Muhammadiyah.
f. Muhammadiyah harus menyadari bahwa partai tersebut adalah sasaran amar ma`ruf nahi mungkar.
g. Antara partai dan Muhammadiyah tidak ada hubungan organisatoris tetapi tetap mempunyai hubungan kemasyarakatan.
h. Masing-masing berdiri dan berjalan sendiri-sendiri menurut caranya sendiri-sendiri.
i. Pada prisnsipnya, tidak dibenarkan adanya perangkapan jabatan terutama jabatan pimpinan antara keduanya, demi tertibnya pembagian pekerjaan (spesialisasi).
Selanjutnya mengenai program dasar perjuangan Muhammadiyah dirumuskan dalam langkah kebijaksanaan sebagai berikut:
a. Memulihkan kembali Muhammadiyah sebagai perserikatan yang menghimpun sebagian anggota masyarakat yang terdiri atas muslimin dan muslimat yang beriman teguh, taat beribadah, berakhlak mulia, dan menjadi teladan yang baik di tengah-tengah masyarakat.
b. Meningkatkan pengertian dan kematangan anggota Muhammadiyah tentang hak dan kewajibannya sebagai warga negara Republik Indonesia dan meningkatkan kepekaan sosialnya terhadap persoalan-persoalan dan kesulitan hidup masyarakat.
c. Menempatkan kedudukan perserikatan Muhammadiyah sebagai gerakan untuk melaksanakan dakwah amar ma`ruf nahi mungkar ke segenap penjuru dan lapisan masyarakat serta di segala bidang kehidupan di negara Indonesia yang berdasarkan pancasila dan undang-undang dasar (UUD) 1945.
4. Struktur Pengurus Muhammadiyah
Menurut anggaran dasar pasal 6 dan anggaran rumah tangga Muhammadiyah, perserikatan Muhammadiyah terdiri atas beberapa tingkat yaitu:
a. Ranting: kesatuan anggota di suatu tempat dan merupakan satuan organisasi terbawah. Ranting ini dapat berdiri jika anggota Muhammadiyah di tempat tersebut lebih dari lima orang dan akan mempunyai amal usaha sebagai wadah gerakan mereka.
b. Cabang: kesatuan ranting-ranting dalam suatu tempat. Untuk itu, satu cabang dapat didirikan bila di daerah tersebut sudah ada paling sedikit tiga ranting dan mempunyai amal usaha sebagai wadah gerakan dalam mencapai tujuan. Cabang ini setingkat dengan kecamatan dalam pemerintahan.
c. Daerah: kesatuan cabang dalam sebuah kabupaten atau kota madya yang terdiri sekurang-kurangnya tiga cabang yang telah disahkan dan mempunyai amal usaha sebagai wadah perjuangan dalam mencapai tujuan perserikatan.
d. Wilayah: kesatuan daerah-daerah dalam sebuah propinsi atau yang setingkat serta berkedudukan di ibu kota propinsi. Suatu wilayah dapat terbentuk jika di wilayah tersebut telah ada paling tidak tiga daerah yang disahkan dan mempunyai amal usaha sebagai wadah perjuangan untuk tercapainya tujuan perserikatan Muhammadiyah.
Pimpinan Muhammadiyah juga bertingkat, mulai dari pimpinan pusat, pimpinan wilayah, pinpinan daerah, pimpinan cabang dan pimpinan ranting. Pimpinan dalam segala tingkat struktur Muhammadiyah, vertikal dan horizontal , adalah orang-orang yang telah memenuhi syarat sebagaimana yang tercantum dalam pasal 5 anggaran rumah tangga Muhammadiyah yaitu telah menjadi anggota paling kurang 1 tahun, setia kepada asas, tujuan dan perjuangan perserikatan, taat kepada garis kebijaksanaan pusat, mampu dan cakap menjalankan tugas, dapat menjadi teladan yang baik bagi umat, tidak merangkap pimpinan organisasi politik dan lain sebagainya.

5. Majelis, Lembaga dan Organisasi Otonom Muhammadiyah
Dalam upaya untuk membantu kinerja pimpinan, diperlukan majelis dan lembaga . Hasil Muktamar Muhammadiyah yang ke-42 di Yogyakarta tanggal 15-19 Desember 1990 menyebutkan bahwa majelis untuk tingkat pusat terdiri dari: (a) majelis tarjih , (b) majelis tabligh, (c) majelis pendidikan dasar dan menengah, (d) majelis pendidikan tinggi, (e) majelis kebudayaan, (f) majelis pustaka, (g) majelis pembinaan kesejahteraan sosial, (h) majelis ekonomi, (i) majelis pembina kesehatan, (j) majelis wakaf dan keharta-bendaan. Disamping itu ada lembaga yang setingkat majelis yaitu (a) lembaga bidang perencanaan dan evaluasi, (b) badan pembinaan kader, (c) badan hubungan dan kerjasama luar negeri, (d) lembaga hikmah dan studi kemasyarakatan, (e) lembaga dakwah khusus, (f) lembaga pengembangan masyarakat dan sumber daya manusia, (g) lembaga pengkajian dan pengembangan, dan lembaga ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).
Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi besar, juga mempunyai beberapa organisasi otonom yang gerak dan tujuannya sama dengan gerak dan tujuan Muhammadiyah. Organisasi otonom yang dimaksud adalah:
a. Aisyiah: bergerak dan berjuan di tengah-tengah kaum ibu atau muslimat muhammadiyah. Aisyiah didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada bulan April tahun 1917 M karena didorong oleh kesadaran bahwa kaum wanita itu sejajar dengan kaum pria dalam berbakti kepada Allah SWT.
b. Nasyiatul Aisyiah: perkumpulan para putri Muhammadiyah yang bidang garapannya adalah pembinaan remaja putri Islam, berdiri tahun 1930 M oleh Sitti Wasilah Hadjid.
c. Pemuda Muhammadiyah: dimaksudkan untuk membina dan menggerakkan potensi para pemuda Islam. Organisasi ini didirikan pada tanggal 2 Mei 1932 M berdasarkan hasil muktamar Muhammadiyah ke-21 di Ujung Pandang.
d. Ikatan pelajar Muhammadiyah (IPM): bertugas untuk membina dan menggerakkan potensi para pelajar Islam. Didirikan berdasarkan adanya konferensi daerah pemuda Muhammadiyah se-Indonesia di Surakarta tanggal 18 Juli 1961 M.
e. Ikatan mahasiswa Indonesia (IMM): bertugas membina dan menggerakkan potensi mahasiswa Islam. Ikatan mahasiswa Muhammadiyah ini didirikan pada tanggal 14 Maret 1964 M.
f. Tapak suci: didirikan di Kauman pada tanggal 31 Juli 1963 M dengan mendapat restu dari pimpinan pusat.
g. Hisbul wathan (kepanduan Muhammadiyah): semula bernama padvinder Muhammadiyah. Didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada tahun 1918 M. Pelopor berdirinya antara lain Siradj Dahlan dan Sarbini atas usulan H. Agus Salim.
C. Nahdhatul Ulama (NU)
1. Sejarah dan Tujuan Didirikan Nahdhatul Ulama (NU)
Nahdhatul Ulama (NU) merupakan organisasi sosial keagamaan yang didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 M / 16 Rajab 1344 H di Surabaya atas prakarsa KH. Hasyim Asy`ari dan KH. Abdul Wahab Hasbullah. NU berakidah Islam menurut paham ahlus sunah wal jama`ah dan menganut madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi`I dan Hanbali). Asasnya adalah Islam, sedangkan tujuan didirikannya adalah untuk memperjuangkan berlakunya ajaran Islam yang berhaluan ahlus sunah wal jama`ah dan menganut madzhab empat di tengah-tengah kehidupan di dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia yang berasaskan pancasila.
NU berdiri berkat perjuangan dan rintisan sejumlah ulama yang memiliki wawasan keagamaan yang sama. Mereka adalah KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Muhammad Hayim `Asy`ari (Tebu Ireng Jombang), KH. Maksum (Lasem), KH. Ridwan (Semarang), KH. Nawawi (Pasuruan), KH. Nahrawi Muchtar (Malang), KH. Ridwan (Surabaya), K. Abdullah Ubaid (Surabaya), KH. Alwi Abdul Aziz (Malang), KH. Abdul Halim (Leuwimunding, Cirebon), KH. Doro Muntaha (Madiun), KH. Dahlan Abdul Qahar (Madiun), KH. Abdullah Faqih (Gresik). Dua orang pertama yakni KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Muhammad Hayim `Asy`ari (Tebu Ireng Jombang) bertindak sebagai pemrakarsa.
Kelahiran NU tidak lepas dari adanya reaksi terhadap situasi umat Islam pada saat itu. Pada permulaan abad ke-20 umat Islam mengalami kegoncangan akibat kekalahan Turki Usmani pada perang dunia I yang dipandang sebagai kejatuhan dunia Islam. Hal ini terjadi karena kekuasaan sultan Turki sebagai khalifah umat Islam itu telah diakui keberadaannya oleh semua wilayah Islam, termasuk Indonesia. Kegoncangan umat Islam ini diperburuk lagi oleh keputusan Majelis Nasional Agung Turki yang menghapus kekuasaan sultan pada tahun 1922 M dan dihapuskannya jabatan khalifah pada tahun 1924 M di bawah pimpinan penguasa Turki yang baru, Mushtafa Kemal Attaturk. Dalam pada itu pengikut gerakan Wahabi di bawah pimpinan Ibnu Su`ud berhasil menguasai wilayah Hedjaz tempat beradanya kedua kota suci yakni Mekah dan Madinah. Gerakan Wahabi ini bertujuan memurnikan paham tauhid umat Islam, telah memusnahkan semua pandangan yang dipandang menimbulkan bid`ah dan khurafat seperti bangunan-bangunan di atas kuburan, makam orang-orang suci dan kiswah (penutup Ka`bah), di samping menentang taklid kepada pendapat imam-imam madzhab dan menyeru untuk kembali kepada Alquran dan sunah. Hal ini menimbulkan pengaruh yang sangat besar terhadap umat Islam termasuk umat Islam Indonesia, terutama terhadap para ulama yang kuat berpegang teguh pada tradisi dan melestarikan ajaran bermadzhab.
Sebagai reaksi terhadap penghapusan khalifah pada tahun 1924 M, Mesir memprakarsai diadakannya suatu kongres dengan mengundang wakil-wakil dari umat Islam sedunia termasuk Indonesia. Menanggapi undangan Mesir itu, umat Islam Indonesia mengadakan kongres al-Islam II di Surabaya pada tanggal 4 Oktober 1924 M. Hasilnya, terbentuk komite khalifah sebagai delegasi yang mewakili Indonesia pada kongres di Mesir. Delegasi terdiri atas Wondoamineso (Sarekat Islam) sebagai ketua dan KH. Abdul Wahab Hasbullah (Ulama Tradisional) sebagai wakil ketua. Tetapi beberpa bulan kemudian kongres al-Islam III yang diadakan di Surabaya tanggal 24-26 Desember 1924 M mengubah susunan delegasi yang telah ditetapkan sebelumnya menjadi tiga orang yaitu Suryopranoto (Sarekat Islam), H. Fahruddin (Muhammadiyah), KH. Abdul Wahab Hasbullah (Ulama Tradisional). Karena alasan keamanan, kongres itu tidak jadi diadakan dan delegasi itupun tidak jadi berangkat.
Tidak berapa lama kemudian datang undangan dari Raja Abdul Aziz Ibnu Sa`ud untuk menghadiri kongres di Mekah. Untuk menetapkan susunan delegasi yang akan dikirim, umat Islam Indonesia mengadakan dua kali kongres al-Islam yakni tahun 1925 M dan tahun 1926 M. Kongres memutuskan dua orang sebagai wakil Indonesia yakni H. Oemar Said Tjokroaminoto (Sarekat Islam) dan KH. Mas Mansur (Muhammadiyah). Dalam kongres tersebut (al-Islam), KH. Abdul Wahab Hasbullah atas nama para ulama yang yang teguh memegang pendapat madzhab mengemukakan usul-usul untuk dibawa ke dalam kongres Mekah. Usul-usul yang terpenting di antaranya ialah memohon kepada Raja Abdul Aziz Ibnu Sa`ud agar kebiasaan-kebiasaan agama yang telah menjadi tradisi seperti membangun kuburan, membaca doa, dan ajaran madzhab tetap dihormati. Akan tetapi usul tersebut tidak dapat diterima oleh kongres (al-Islam). Karena usul-usul yang diajukannya ditolak, KH. Abdul Wahab Hasbullah dan beberapa orang pendukungnya menyatakan diri keluar dari kongres dan selanjutnya membentuk suatu komite sendiri yang dinamakan komite Hedjaz. Komite inilah yang merupakan embrio kelahiran NU.
Komite Hedjaz mengadakan rapat pertama kali tanggal 31 Januari 1926 M / 16 Rajab 1344 H (kemudian dicatat sebagai hari kelahiran NU), bertempat di kediaman KH. Abdul Wahab Hasbullah desa Kertopaten, Surabaya dihadiri oleh sejumlah ulama dari Jawa Timur dan Jawa Tengah yang kemudian dikenal dengan sebagai pendiri NU. Ada dua keputusan penting yang dihasilkan dalam rapar itu. Pertama, mengirim delegasi ke Mekah untuk bertemu langsung dengan Raja Abdul Aziz Sa`ud, menyampaikan usul-usul seperti yang telah disampaikan KH. Abdul Wahab Hasbullah dalam kongres al-Islam. Delegasi terdiri atas KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Asnawi Kudus yang karena suatu halangan, digantikan oleh Syekh Ahmad Ghunaim. Kedua, membentuk suatu jam`iyah untuk wadah persatuan para ulama dalam tugas memimpin umat menuju tercapainya izzul islam wal muslimin (kejayaan Islam dan umatnya). Atas usul KH. Alwi Abdul Aziz, jam`iyah itu bernama Jam`iyah Nahdah al-Ulama. Organisasi ini kemudian mendapat pengakuan dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda sesuai dengan suratnya tanggal 6 Februari 1930 M.
2. Susunan Kepengurusan Nahdhatul Ulama (NU)
Keanggotaan NU terdiri atas anggota biasa dan anggota kehormatan . Susunan kepengurusan NU terdiri atas Mustasyar (Dewan Penasehat), Syuriah (Pimpinan Tertinggi NU), dan Tanfidziah (Pelaksana Harian NU). Tingkat kepengurusannya terdiri atas pengurus besar (PB) untuk tingkat pusat, pengurus wilayah (PW) untuk tingkat provinsi, pengurus cabang (PC) untuk tingkat kabupaten / kotamadya, pengurus majelis wakil cabang (MWC) untuk tingkat kecamatan dan pengurus ranting (PR) untuk tingkat desa / kelurahan. Pengangkatan pengurus dilakukan dalam waktu 5 tahun bagi pengurus besar, 4 tahun bagi pengurus wilayah, 3 tahun bagi pengurus majelis wakil cabang dan 3 tahun bagi pengurus ranting.
Kekuasaan tertinggi organisasi dipegang oleh muktamar. Muktamar diadakan sekali dalam lima tahun untuk membicarakan dan merumuskan (a) masa`il diniyah, (b) pertanggung-jawaban kebijaksanaan pengurus besar, (c) program dasar NU untuk jangka waktu lima tahun, (d) masalah-masalah yang bertalian dengan agama, umat, dan masalah ammah (umum), (e) menetapkan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD / ART), dan (f) memilih pengurus besar. Muktamar dihadiri oleh pengurus besar, pengurus wilayah, dan pengurus cabang. Instansi permusyawaratan tertinggi setelah muktamar ialah Konferensi Besar. Konferensi besar bertugas membicarakan pelaksanaan keputusan muktamar, mengkaji perkembangan organisasi serta peranannya di tengah masyarakat, dan membahas masalah keagamaan dan kemasyarakatan. Setelah itu ada musyawarah nasional alim ulama, dilaksanakan satu kali dalam satu periode kepengurusan oleh pengurus besar syuriah, dihadiri oleh tokoh alim ulama ahlussunah waljamaah. Di tingkat wilayah, cabang dan anak cabang dilaksanakan masing-masing konferensi anak cabang, sedangkan di tingkat ranting hanya ada rapat anggota.
3. Nilai dasar, Pola Dasar Perjuangan dan Pola Pengembangan NU
Pedoman pokok organisasi NU yaitu (a) nilai dasar jamiyah NU tentang hakikat keberadaan NU sebagai gerakan yang berupaya mengantar umatnya untuk dekat dengan Tuhannya. NU sebagai gerakan yang meliputi semua dimensi kehidupan yang mengarah kepada baldatun tayyibatun wa rabbun ghaffur (terwujudnya suatu negara yang aman, makmur, dan mendapat pengampunan dari Tuhan) bertujuan mencapai izzul Islam wal muslimin (kejayaan Islam dan kaum muslimin). (b) pola dasar perjuangan NU (khittah 1926) yaitu wawasan keagamaan yang sudah melembaga dan membudaya sehingga merupakan rangkaian perwatakan yang membentengi NU dari segala macam goncangan. Dalam khittah NU 1926 dijelaskan bahwa NU didirikan karena motif keagamaan bukan motif politik, ekonomi dan sebagainya. (c) pola pengembangan NU pada jangka panjang meliputi tujuan, landasan, dasar pengembangan, dan program umum. Tujuannya adalah mewujudkan cita-cita NU. Landasan pembinaan dan pengembangan NU adalah akidah Islam ahlussunah waljamaah, pancasila, UUD 1945, dan peraturan organisasi. Dasar pengembangan NU meliputi segi rohani yaitu sikap dasar tawadhu` (rendah diri), tasawuf (sederhana), tasamuh (toleransi), tawazun (seimbang), dan istiqamah (teguh pendirian), amar ma`ruf nahi mungkar, serta segi jasmani yaitu sikap kepeloporan, kebersamaan, penyesuaian diri terhadap tuntutan zaman, dan kemandirian.
4. Lajnah, Lembaga dan Badan Otonom NU
Untuk merealisasikan program kerja, NU membentuk perangkat organisasi berupa lajnah (panitia, lembaga) lembaga, dan badan otonom. Lajnah adalah perangkat organisasi NU yang berfungsi melaksanakan program NU yang memerlukan penanganan khusus. NU mempunyai tujuh lajnah yaitu: (a) lajnah falakiyah (lembaga falak), (b) lajnah al-ta`lif wa al-nasyr (lembaga penerbitan dan publikasi), (c) lajnah kajian pengembangan dan sumber daya manusia (LAKPESDAM), (d) lajnah waqfiyah (lembaga wakaf), (e) lajnah penyuluh dan bantuan hukum, (f) lajnah zakat, infaq, sedekah, dan (g) lajnah bahs al-masa`il al-diniyah (lembaga pengkajian masalah-masalah keagamaan).
Lembaga adalah perangkat NU yang berfungsi sebagai pelaksanan kebijaksanaan NU, khususnya yang berkaitan dengan suatu bidang tertentu. Terdapat 12 lembaga dalam NU, yaitu: (1) lembaga dakwah NU yang berfungsi melaksanakan kebijaksanaan NU di bidang penyiaran agama Islam ahlus sunah wal jamaah. (2) lembaga pendidikan Ma`arif yang berfungsi melaksanakan kebijakan NU di bidang pendidikan dan pengajaran baik formal maupun non formal. (3) lembaga sosial mubarrat NU yang berfungsi melaksanakan kebijakan NU di bidang sosial dan kesehatan. (4) lembaga perekomonian NU berfungsi menjalankan kebijakan NU di bidang pengembangan ekonomi warga NU. (5) lembaga pembangunan dan pengembangan pertanian NU yang berfungsi menjalankan kebijakan NU di bidang pengembangan pertanian, peternakan, dan perikanan. (6) lembaga Rabithah Al-Ma`Ahid Al-Islamiyah (ikatan pesantren-pesantren Islam) berfungsi menjalankan kebijakan NU di bidang pengembangan pondok pesantren. (7) lembaga kemashlahatan keluarga NU berfungsi melaksanakan kebijakan NU di bidang kemashlahatan keluarga, kependudukan, keluarga berencana dan lingkungan hidup. (8) lembaga hai`ah ta`mir al-masajid (kemakmuran masjid) berfungsi menjalankan kebijakan NU di bidang pengembangan dan kemakmuran masjid. (9) lembaga misi Islam berfungsi melaksanakan kebijakan NU di bidang pengembangan dan penyiaran Islam ahlus sunah wal jama`ah di daerah yang bersifat khusus. (10) ikatan seni hadrah Indonesia berfungsi melaksanakan kebijakan NU di bidang pengembangan seni hadrah. (11) lembaga seni budaya muslim Indonesia (LESBUMI) berfungsi menjalankan kebijakan NU di bidang pengembangan kesenian dan budaya selain hadrah. (12) lembaga pencak silat pagar nusa berfungsi melaksanakan kebijakan NU di bidang pengembangan olah raga bela diri pencak silat.
Badan otonom adalah perangkat organisasi NU yang berfungsi membantu melaksanakan kebijakan NU, khususnya yang berkaitan dengan kelompok masyarakat tertentu. Kepengurusan badan otonom diatur menurut peraturan dasar dan peraturan rumah tangga masing-masing serta berkewajiban menyesuaikan akidah, asas, tujuan, dan usahanya dengan NU. NU mempunyai 9 badan otonom yaitu: (1) muslimat NU, organisasi wanita NU. (2) gerakan pemuda ansor (GP ansor) organisasi pemuda NU. (3) fatayat NU, organisasi pemudi NU. (4) ikatan putra nahdhatul ulama (IPNU) organisasi remaja NU. (5) ikatan putri-putri nahdhatul ulama (IPPNU) organisasi remaja putri NU. (6) jamiyyah alhlu tarikah al-muttabarah di kalangan NU (7) jamiyyah al-qurra` wal al-huffazh, organisasi qari` dan penghafal Alquran. (8) persatuan guru nahdhatul ulama (9) ikatan sarjana Islam Indonesia.
D. Perbandingan Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama (NU)
Untuk mempermudah dalam membandingkan kedua organisasi terbesar di Indonesia yakni Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama (NU), kami membuat bagan sebagai berikut:
NO Perbandingan dari segi Muhammadiyah Nahdhatul Ulama (NU)
1 Sejarah berdiri-nya a. Keadaan masyarakat yang jauh akan Alquran dan sunnah.
b. Pendidikan yang kurang efektif terhadap perkembangan zaman.
c. Kemiskinan menimpa rakyat Indonesia terutama umat Islam yang sebagian besar adalah petani dan buruh.
d. Aktivitas misi Katolik dan Protestan sudah giat beroperasi sejak awal abad ke-19. Kelahiran NU tidak lepas dari adanya reaksi terhadap situasi umat Islam pada saat itu. Pada permulaan abad ke-20 umat Islam mengalami kegoncangan akibat kekalahan Turki Usmani pada perang dunia I yang dipandang sebagai kejatuhan dunia Islam. Dalam pada itu pengikut gerakan Wahabi di bawah pimpinan Ibnu Su`ud berhasil menguasai wilayah Hedjaz tempat beradanya kedua kota suci yakni Mekah dan Madinah. Gerakan Wahabi ini bertujuan memurnikan paham tauhid umat Islam, telah memusnahkan semua pandangan yang dipandang menimbulkan bid`ah dan khurafat.
2 Tujuan didirikan (a) Memajukan serta menggembirakan pelajaran dan pengajaran agama Islam dalam kalangan sekutu-sekutunya, dan (b) Memajukan serta menggembirakan hidup sepanjang kemampuan agama Islam dalam kalangan-kalangan sekutunya. Untuk memperjuangkan berlakunya ajaran Islam yang berhaluan ahlus sunah wal jama`ah dan menganut madzhab empat di tengah-tengah kehidupan di dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia yang berasaskan pancasila.
3 Landa-san organisa-si a. Gerakan yang berasaskan Islam, bekerja dan bercita-cita untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya untuk melaksanakan fungsi dan misi manusia sebagai hamba dan khlifah di muka bumi.
b. mengamalkan Islam berdasarkan Alquran dan sunah Rasulullah SAW, serta menggunakan akal pikiran sesuai dengan ajaran Islam.
c. bekerja demi terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidang-bidang akidah, akhlak, ibadah, dan muamalah (kemasyakatan) duniawi. a. Berakidah Islam menurut paham ahlus sunah wal jama`ah dan menganut madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi`I dan Hanbali).
b. Asasnya adalah Islam.
c. Suatu jam`iyah untuk wadah persatuan para ulama dalam tugas memimpin umat menuju tercapainya izzul islam wal muslimin (kejayaan Islam dan umatnya)
4 Program dasar perjuangan a. Muhammadiyah berjuang untuk mencapai atau mewujudkan suatu cita-cita dan keyakinan hidup yang bersumber pada ajaran Islam.
b. Dakwah Islam dan amar ma`ruf nahi mungkar dalam arti dan proporsi yang sebenar-benarnya sebagaimana yang dituntunkan oleh Muhammadiyah SAW adalah satu-satunya jalan untuk mencapai cita-cita dan keyakinan hidup tersebut.
c. Dakwah Islam dan amar ma`ruf nahi mungkar tersebut harus melalui dua saluran secara serempak yaitu: (a) saluran politik kenegaraan (politik praktis), dan (b) saluran masyarakat.
d. Muhammadiyah harus menyadari bahwa partai tersebut adalah sasaran amar ma`ruf nahi mungkar.
e. Muhammadiyah sebagai organisasi memilih dan menempatkan diri sebagai gerakan islam dan amar ma`ruf nahi mungkar dalam bidang masyarakat.
a. Nilai dasar jamiyah NU tentang hakikat keberadaan NU sebagai gerakan yang berupaya mengantar umatnya untuk dekat dengan Tuhannya. NU sebagai gerakan yang meliputi semua dimensi kehidupan yang mengarah kepada baldatun tayyibatun wa rabbun ghaffur (terwujudnya suatu negara yang aman, makmur, dan mendapat pengampunan dari Tuhan) bertujuan mencapai izzul Islam wal muslimin (kejayaan Islam dan kaum muslimin).
b. Pola dasar perjuangan NU (khittah 1926) yaitu wawasan keagamaan yang sudah melembaga dan membudaya sehingga merupakan rangkaian perwatakan yang membentengi NU dari segala macam goncangan. Dalam khittah NU 1926 dijelaskan bahwa NU didirikan karen motif keagamaan bukan motif politik, ekonomi dan sebagainya.
c. Pola pengembangan NU pada jangka panjang meliputi tujuan, landasan, dasar pengembangan, dan program umum.
5 Struktur organisa-si a. Ranting: kesatuan anggota di suatu tempat dan merupakan satuan organisasi terbawah. Ranting ini dapat berdiri jika anggota Muhammadiyah di tempat tersebut lebih dari lima orang dan akan mempunyai amal usaha sebagai wadah gerakan mereka.
b. Cabang: kesatuan ranting-ranting dalam suatu tempat. Untuk itu, satu cabang dapat didirikan bila di daerah tersebut sudah ada paling sedikit tiga ranting dan mempunyai amal usaha sebagai wadah gerakan dalam mencapai tujuan. Cabang ini setingkat dengan kecamatan dalam pemerintahan.
c. Daerah: kesatuan cabang dalam sebuah kabupaten atau kota madya yang terdiri sekurang-kurangnya tiga cabang yang telah disahkan dan mempunyai amal usaha sebagai wadah perjuangan dalam mencapai tujuan perserikatan.
d. Wilayah: kesatuan daerah-daerah dalam sebuah propinsi atau yang setingkat serta berkedudukan di ibu kota propinsi. Suatu wilayah dapat terbentuk jika di wilayah tersebut telah ada paling tidak tiga daerah yang disahkan dan mempunyai amal usaha sebagai wadah perjuangan untuk tercapainya tujuan perserikatan Muhammadiyah.
Keanggotaan NU terdiri atas anggota biasa dan anggota kehormatan. Susunan kepengurusan NU terdiri atas Mustasyar (Dewan Penasehat), Syuriah (Pimpinan Tertinggi NU), dan Tanfidziah (Pelaksana Harian NU). Tingkat kepengurusannya terdiri atas pengurus besar (PB) untuk tingkat pusat, pengurus wilayah (PW) untuk tingkat provinsi, pengurus cabang (PC) untuk tingkat kabupaten / kotamadya, pengurus majelis wakil cabang (MWC) untuk tingkat kecamatan dan pengurus ranting (PR) untuk tingkat desa / kelurahan.
6 Lembaga / Majelis yang membantu kinerja organisa-si a. Majelis: (a) majelis tarjih, (b) majelis tabligh, (c) majelis pendidikan dasar dan menengah, (d) majelis pendidikan tinggi, (e) majelis kebudayaan, (f) majelis pustaka, (g) majelis pembinaan kesejahteraan sosial, (h) majelis ekonomi, (i) majelis pembina kesehatan, (j) majelis wakaf dan keharta-bendaan.
b. Lembaga yang setingkat majelis yaitu (a) lembaga bidang perencanaan dan evaluasi, (b) badan pembinaan kader, (c) badan hubungan dan kerjasama luar negeri, (d) lembaga hikmah dan studi kemasyarakatan, (e) lembaga dakwah khusus, (f) lembaga pengembangan masyarakat dan sumber daya manusia, (g) lembaga pengkajian dan pengembangan, dan lembaga ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).
c. Otonom: (a) Aisyiah: bergerak dan berjuan di tengah-tengah kaum ibu atau muslimat muhammadiyah. Aisyiah didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada bulan April tahun 1917 M karena didorong oleh kesadaran bahwa kaum wanita itu sejajar dengan kaum pria dalam berbakti kepada Allah SWT. (b) Nasyiatul Aisyiah: perkumpulan para putri Muhammadiyah yang bidang garapannya adalah pembinaan remaja putri Islam, berdiri tahun 1930 M oleh Sitti Wasilah Hadjid. (c) Pemuda Muhammadiyah: dimaksudkan untuk membina dan menggerakkan potensi para pemuda Islam. Organisasi ini didirikan pada tanggal 2 Mei 1932 M berdasarkan hasil muktamar Muhammadiyah ke-21 di Ujung Pandang. (d) Ikatan pelajar Muhammadiyah (IPM): bertugas untuk membina dan menggerakkan potensi para pelajar Islam. Didirikan berdasarkan adanya konferensi daerah pemuda Muhammadiyah se-Indonesia di Surakarta tanggal 18 Juli 1961 M. (e) Ikatan mahasiswa Indonesia (IMM): bertugas membina dan menggerakkan potensi mahasiswa Islam. Ikatan mahasiswa Muhammadiyah ini didirikan pada tanggal 14 Maret 1964 M. (f) Tapak suci: didirikan di Kauman pada tanggal 31 Juli 1963 M dengan mendapat restu dari pimpinan pusat. (g) Hisbul wathan (kepanduan Muhammadiyah): semula bernama padvinder Muhammadiyah. Didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada tahun 1918 M. Pelopor berdirinya antara lain Siradj Dahlan dan Sarbini atas usulan H. Agus Salim.
a. Lajnah: (a) lajnah falakiyah (lembaga falak), (b) lajnah al-ta`lif wa al-nasyr (lembaga penerbitan dan publikasi), (c) lajnah kajian pengembangan dan sumber daya manusia (LAKPESDAM), (d) lajnah waqfiyah (lembaga wakaf), (e) lajnah penyuluh dan bantuan hukum, (f) lajnah zakat, infaq, sedekah, dan (g) lajnah bahs al-masa`il al-diniyah (lembaga pengkajian masalah-masalah keagamaan).
b. Lembaga: (1) lembaga dakwah NU yang berfungsi melaksanakan kebijaksanaan NU di bidang penyiaran agama Islam ahlus sunah wal jamaah. (2) lembaga pendidikan Ma`arif yang berfungsi melaksanakan kebijakan NU di bidang pendidikan dan pengajaran baik formal maupun non formal. (3) lembaga sosial mubarrat NU yang berfungsi melaksanakan kebijakan NU di bidang sosial dan kesehatan. (4) lembaga perekomonian NU berfungsi menjalankan kebijakan NU di bidang pengembangan ekonomi warga NU. (5) lembaga pembangunan dan pengembangan pertanian NU yang berfungsi menjalankan kebijakan NU di bidang pengembangan pertanian, peternakan, dan perikanan. (6) lembaga Rabithah Al-Ma`Ahid Al-Islamiyah (ikatan pesantren-pesantren Islam) berfungsi menjalankan kebijakan NU di bidang pengembangan pondok pesantren. (7) lembaga kemashlahatan keluarga NU berfungsi melaksanakan kebijakan NU di bidang kemashlahatan keluarga, kependudukan, keluarga berencana dan lingkungan hidup. (8) lembaga hai`ah ta`mir al-masajid (kemakmuran masjid) berfungsi menjalankan kebijakan NU di bidang pengembangan dan kemakmuran masjid. (9) lembaga misi Islam berfungsi melaksanakan kebijakan NU di bidang pengembangan dan penyiaran Islam ahlus sunah wal jama`ah di daerah yang bersifat khusus. (10) ikatan seni hadrah Indonesia berfungsi melaksanakan kebijakan NU di bidang pengembangan seni hadrah. (11) lembaga seni budaya muslim Indonesia (LESBUMI) berfungsi menjalankan kebijakan NU di bidang pengembangan kesenian dan budaya selain hadrah. (12) lembaga pencak silat pagar nusa berfungsi melaksanakan kebijakan NU di bidang pengembangan olah raga bela diri pencak silat.
c. Badan otonom yaitu: (1) muslimat NU, organisasi wanita NU. (2) gerakan pemuda ansor (GP ansor) organisasi pemuda NU. (3) fatayat NU, organisasi pemudi NU. (4) ikatan putra nahdhatul ulama (IPNU) organisasi remaja NU. (5) ikatan putri-putri nahdhatul ulama (IPPNU) organisasi remaja putri NU. (6) jamiyyah alhlu tarikah al-muttabarah di kalangan NU (7) jamiyyah al-qurra` wal al-huffazh, organisasi qari` dan penghafal Alquran. (8) persatuan guru nahdhatul ulama (9) ikatan sarjana Islam Indonesia.
Dari tabel di atas, nampak jelas perbedaan dua organisasi tersebut mulai dari sejarah berdirinya, tujuan didirikannya, landasan organisasinya, program dasar perjuangan organisasi, struktur organisasi, dan lembaga / majelis yang terdapat dari keduanya. Walaupun berbeda, penulis melihat bahwa Muhammadiyah dan NU dalam keadaan harmonis pada saat sekarang ini. Keharmonisan Muhammadiyah dan NU ini dapat dilihat dari beberapa faktor berikut:
a. Terjadinya dialog dan kontak-kontak budaya yang begitu intensif dewasa ini antara Muhammadiyah dan NU yang jarang terjadi pada masa sebelumnya.
b. Munculnya kesadaran baru di kalangan generasi Muhammadiyah dan NU akan adanya plurarisme umat dan paham yang dianutnya.
c. Terjadinya pertukaran pendidikan antara Muhammadiyah dan NU.
d. Sebagai organisasi, Muhammadiyah dan NU tidak lagi menempatkan politik sebagai kepentingan tujuan yang dominan.
e. Pengaruh globalisasi budaya yang tidak saja melampaui batas geografis dan kebangsaan akan tetapi melintas batas-batas acuan kepenganutan paham yang dipegangi oleh kelompok jama`ah.
E. Daftar Pustaka
Agama, Departemen. Alquran dan Terjemahannya. Semarang: Tanjung Mas Inti Semarang, 1992.
Alfian, Muhammadiyah (The Political Behavior of a Muslim Modernist Organisation Under Dutch Colonialism). Yogyakarta: UGM Press, 1989.
Ali, As`ad Sa`id. Pergolakan di Jatung Tradisi (NU yang saya amati). Cet 2. Jakarta: Pustaka LP3ES, September 2008.
Al-Asya`ari, Dewi dkk. Pemberontakan Kaum Muda Muhammadiyah. Cet 1. Yogyakarta: Resis Book, Juni 2005.
Ensiklopedia, Dewan Redaksi. Ensiklopedia Islam, cet. 4, jilid 3, (Jakarta: Ichtiar Van Hoeve, 1997.
Fiellard, Andre. Islam et Armee Dans L`Indonesie Contemporaine. Terj. Lesmana. Yogyakarta: LKIS, 1999.
Hasyim, Umar. Muhammadiyah Jalan Lurus. Cet 1. Surabaya: Bina Ilmu Offset, 1990.
Http://Ansor-Tanjabbar.Blogspot.Com/2008/10/Jenis-Anggota-Gp-Ansor-Anggota-Gp-Ansor.Html, diakses pada tanggal 12 November 2010).
Http://Www.Oocities.Com/Tarjikh/Manhaj_Tarjih/Manhaj_Ijtihad_Umum.Htm?201016#Ixzz12tpfemhq) di akses pada tanggal 12 November 2010.
Http://Www.Tokohindonesia.Com/Ensiklopedi/A/Ahmad-Dahlan/Index.Html, di akses pada 12 November 2010.
http://Www.Tokohindonesia.Com/Ensiklopedi/H/Hasyim-Asyari/Index.Shtml. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Hasyim_Asy%27arie di akses pada 12 November 2010.
Ida, Laode. NU Muda (Kaum Progressif dan Sekulerisme Baru). Jakarta: Erlangga, 2004.
Ismail, Faisal. Dilema NU di Tengah Badai Pragmatisme Politik. Cet 1. Jakarta: Badan LITBANG DEPAG, Desember 2004.
Jurdi, Syarifuddin. Negara Muhammadiyah (Mendekap Politik Dengan Perhitungan. Cet 1. Yogyakarta: Kreasi Wacana, Juni 2005.
Kompas, Redaksi. Muhammadiyah di Gugat (Reposisi di Tengah Indonesia yang Berubah). Cet 1. Jakarta: Gramedia, 2000.
_______, Dewan Redaksi. Muhammadiyah Digugat. Editor: Nur Ahmad dan Pramono UT. Cet 1. Jakarta: Gramedia, Juni 2000.
Lapidus, Ira M. A History of Islamic Societies. Terj. Gufron A Mas`adi dengan nama Sejarah Sosial Umat Islam. Cet 1. Bagian ketiga. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999.
Malang, UMM. Muhammadiyah NU (Mendayung Ukhuwah di Tengah Perbedaan). Editor: Ma`mun Murod dkk. Cet 1. Malang: UMM Press, Maret 2004.
Marijan, Kacung. Quo Vadis NU (Setelah Kembali ke Khittah 1926). Jakarta: Erlangga, 1992.
Al-Mawa, Mahrus dkk. 20 Tahun Perjalanan LAKPESDAM dalam Memberdayakan Warga NU. Cet 1. Jakarta: LAKPESDAM NU, Juli 2005.
Mulkhan, Abdul Munir. Masalah-Masalah Teologi dan Fiqih dalam Tarjih Muhammadiyah. Cet 1. Yogyakarta: ROYKHAN, 2005.
Mun`im, Abdul dkk. Pedoman Kaderisasi NU. Cet 1. Jakarta: LAKPESDAM NU, Mei 2004.
Na`im, Moh. Masyhuri dkk. NU Melawan Korupsi (Kajian Tafsir dan Fiqih). Cet 1. Jakarta: Pengurus Besar Nahdhatul Ulama, April 2006.
Nashir, Haedar. Dinamika Politik Muhammadiyah. Cet 1. Yogyakarta: Bayu Indera Grafika, Maret 2000.
Penulis, Tim IAIN Syarif Hidayatullah. Ensiklopedia Islam. Jakarta: Djambatan, 1992.
Ridwan. Paradigma Politik NU (Relasi Sunni dalam Pemikiran Politik). Cet 1. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Juni 2004.
Sazali, Muhammadiyah dan Muasyarakat Madani. Cet 1. Jakarta: PSAP Muhammadiyah, Juni 2005.
Thohari, Hajriyanto. Muhammadiyah dan Pergulatan Politik Islam Modernis. Cet 1. Jakarta: PSAP Muhammadiyah, Juni 2005.
Wahid, Salahuddin. Menggagas Politik NU. Cet 1. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu (PIS), Februari 2002.
Yunahar, dkk (editor). Muhammadiyah dan NU Reorientasi Wawasan Keislaman. Cet 1. Yogyakarta: Kerjasama LPPI UMY, LAKPESDAM NU dan PP al-Muhsin Yogyakarta, November 1993.
Zahroh, Ahmad. Tradisi Intelektual NU (Lajnah Bahtsul Masa`il 1926-1999). Cet 1. Yogyakarta: LKIS, Oktober 2004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar