Cendekiawan Budaya Birokrat Indonesia –dari Abdi Dalem
hingga Abdi Negara
Oleh:
Andre Vetronius[1]
Pendahuluan
Cendekiawan atau intelektual ialah orang yang menggunakan
kecerdasannya untuk bekerja, belajar,
membayangkan, menggagas, atau menyoal
dan menjawab persoalan tentang brbagai gagasan. Kata cendekiawan berasal
dari Chanakya seorang politikus dalam pemerintahan Chandragupta dari kekaisaran
Maurya. Tak bisa dipungkiri juga cendekiawan yang akan
menjadi abdi negara dan masyarakat.
Setiap warga negara akan selalu berhubungan dengan aktivitas
Birokrasi Pemerintahan. Bahkan ketika seseorang masih berada dalam kandungan ia
sudah mulai tergantung dengan pelayanan birokrasi. Apakah untuk keperluan pemeriksaan
kesehatan (di RS atau Puskesmas ) atau setelah lahir dan harus mendapatkan
“sertifikat sebagai warga dunia” berupa akta kelahiran. Ketergantungan dengan birokrasi itu terus berlanjut, seiring
dengan bertambahnya usia seseorang atau sejalan dengan ragam aktivitas yang
dilakukan ditengah masyarakat. Sementara itu, jenis pelayanan umum yang
diselenggarakan birokrasipun sangat kompleks
dan bahkan memasuki hampir setiap aspek kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Intervensi birokrasi yang demikian ini, sah-sah saja
adanya, karena justru untuk menyelenggarakan fungsi itulah birokrasi dibentuk.
Merupakan hal yang logis, jika kemudian
birokrat atau aparatur publik itu dijuluki
Abdi Negara, karena pada pundaknya tugas-tugas kemasyarakatan,
pemerintahan dan pembangunan diselenggarakan atas nama “organisasi politik
super besar” yang disebut “negara”. Namun penting diingat, legitimasi yang
diterima para abdi negara itu bersumber dari kepercayaan rakyat yang berdaulat.
Artinya, seorang abdi negara adalah
seseorang yang mengemban amanat rakyat untuk mengayomi kepentingan kepentingan
mereka (rakyat). Jadi, jika dikaitkan dengan sumber legitimasi ini, maka
seseorang aparatur negara/ publik (pegawai negeri, birokrat atau abdi negara)
itu, sesungguhnya adalah seorang abdi masyarakat. Ini berarti, bahwa tugas
aparatur publik adalah melayani
masyarakatnya (public service).
Kompleksnya pelayanan umum yang diberikan birokrasi, semakin
mengabsahkan jaringan hirarkinya yang terbentang luas dari pusat hingga ke
pelosok desa. Mengemban amanat rakyat, mengayomi dan memberikan pelayanan
kepada mayarakat, mengadministrasikan tugas tugas pemerintahan dan pembangunan,
adalah sebagian besar dari tanggung jawab yang diembannya. Dengan berbekal kode
etik “Sapta Prasetya”, iapun dituntut berprilaku bersih sehingga wibawa dan
kemuliaan memancar dari korpnya
Sudah
sewajarnyalah rakyat berterima kasih kepada para “abdi” nya itu dan kemudian
menaruh hormat terhadap lembaga atau korpnya. Tidak ada alasan bagi rakyat
untuk tidak respek terhadap birokrasi. Namun ironisnya, persepsi masyarakat
selama ini terhadap birokrasi tidaklah demikian adanya. Kondisi faktual
dimasyarakat menunjukkan, bahwa berhubungan dengan birokrasi berarti berhadapan
dengan kekuasaan perijinan yang menjelimet, penghormatan dari meja ke meja,
atau bahkan formalisme yang eksesif.. Yang lebih parah lagi,acapkali rakyat
diposisikan sebagai pembeli jasa yang harus siap membeli tiket layanan
alias amplop pelican,sekedar untuk
mendapatkan layanan birokrasi. Hal ini disebabkan karena prosedur pelayanan
yang semestinya memudahkan masyarakat sering ditunggangi kepentingan pribadi
birokrat dan tidak jarang dijadikan komoditi layak jual.
Fenomena ini berlanjut mentradisi dalam korp birokrasi, meskipun
sesungguhnya instrumen untuk menyikapinya sudah tersedia (misalnya, sistem
pengawasan). Masyarakat pengguna jasa menganggap produk layanan birokrasi itu
bukan lagi haknya yang dengan mudah dapat diperoleh (hanya dengan mengganti
biaya bahan baku produk tersebut), melainkan telah memandang birokrasi itu
sesuatu yang harus diakses dengan
koneksi tertentu mirip mekanisme hukum pasar. Dengan demikian ketentuan
bahwa birokrasi memiliki kewajiban untuk melayani masyarakat menjadi berbalik,
karena masyarakatlah yang harus “pintar” melayani kemauan birokrasi tersebut.
Berangkat dari sinilah, fenomena kolusi, pungli dan penguasa perijinan
dipersepsikan oleh masyarakat identik dengan birokrasi itu sendiri.
“ Jargon abdi
masyarakat hanyalah tinggal kenangan belaka atau sekedar slogan yang indah ?”.
Menyikapi keadaan yang demikian itu, wajar jika
kemudian timbul pertanyaan seputar peran birokrasi sebagai lembaga
penyelenggara pelayanan masyarakat. “Benarkah birokrat itu abdi masyarakat?”
Gejala phatologis birokrasi seperti
yang telah dipaparkan diatas itu, menjadi semakin kronis ketika tumor tumor
birokrasi lainnya, turut menghias kinerja birokrasi seperti : adanya
proliferasi dan struktur ganda, instransparansi pertanggungjawaban (yang
menyulut lahirnya manipulasi dan korupsi ), aplikasi patronase dalam rekrutmen
pegawai (yang menyuburkan nepotisme dan suap), serta praktik mal-administrasi
maupun mis-manajemen lainnya.
Meskipun kondisi yang diungkapkan itu
belum sepenuhnya dapat digeneralisir, apapun alasannya, fenomena yang demikian
itu tentu tidak dapat dibiarkan berlarut. Sebab, jika fenomena phatologis itu
dibiarkan menahun, maka tidaklah mustahil “krisis kepercayaan” masyarakat
terhadap birokrasi suatu saat akan berubah menjadi destruktif. Dibeberapa
tempat, ketakutan kaum birokrat elit untuk menggunakan kendaraan “plat
merahnya” karena khawatir akan menjadi sasaran amuk massa, adalah indikator
bahwa posisi rakyat telah berseberangan dengan birokrasi.
Penting diingat bahwa, kita tidak apriori dengan prestasi pembangunan
yang berhasil dicapai selama ini, yang sebagian besar merupakan andil birokrasi
dalam totalitas kinerjanya.Akan tetapi,
prestasi birokrasi dalam pembangunan itu akan tenggelam begitu saja jika
penyakit birokrasi yang diderita selama ini, betapapun ringannya, dibiarkan
terus tanpa solusi “penyembuhan”.
Secara umum
terdapat tiga pengertian modren untuk istilah cendekiawan yaitu;
1.
Mereka
yang amat terlibat dalam idea-idea dan buku-buku
2.
Mereka
yang mempunyai keahlian dalam budaya dan seni yang memberikan mereka kewibawaan
kebudayaan dan yang kemudian mempergunakan kewibawaan itu untuk mendiskusikan
perkara-perkara lain di khalayak ramai. Golongan ini dipanggil sebagai
intelektual budaya.
3.
Dari
segi Marxisme mereka tergolong dalam kelas dosen, guru, pengacara, wartawan dan
sebagainya.
Oleh karena itu cendekiawan sering dikaitkan dengan mereka yang
lulusan universitas. Namun,Sharif Shaary, dramawan Malaysia terkenal mengatakan
bahwa hakikatnya tidak semudah itu ia berkata:
“Belajar di Universitas buakan jaminan seseorang dapat
menjadi cendekiawan. Seorang cendekiawan adalah pemikir yang senantiasa
berpikir dan mengembangkan (serta) menyumbangkan gagasannya untuk kesejahteraan masyarakat. Ia juga adalah seorang
yang mempergunakan ilmu dan ketajaman pikirannya untuk mengkaj, menganalisis,
merumuskan segala perkara dalam kehidupan manusia, terutama masyarakat dimana
ia hadir khususnya dan diperingkat global umum untuk mencari kebenaran dan
menegakkan kebenaran itu. Lebih dari itu, seorang intelektual juga seseorang
yang mengenali kebenaran dan berani memperjuangkan kebenaran itu, meskipun
menghadapi tekanan dan ancama, terutama sekali kebenaran, kemajuan, kebebasan
untuk rakyat.
Tiga Tahap Perkembangan Cendekiawan atau Intelektual
Menurut August Comte ada tiga tahap perkembangan cendekiawan atau intelektual
yang masing-masing merupakan perkembangan dari tahap sebelumnya:
1.
Tahap
teologis; tingkat pemikiran manusia bahwa semua benda didunia mempunyai jiwa
dan itu disebabkan oleh suatu kekuatan yang berada di atas manusia.
2.
Tahap
metafisis; tahap manusia mengganggap bahwa didalam setiap gejala terdapat
kekuatan atau inti tertentu yang pada akhirnya akan dapat diungkapkan. Oleh
karena adanya kepercayaan bahwa setiap cita-cita terkait pada suatu realitas
tertentu dan tiadak ada usaha untuk menemukan hukum-hukum alam yang seragam.
3.
Tahap
positif;tahap dimana manusia mulai berpikir secara ilmiah.
Cendekiawan bisu dan palsu
Sharif shaary menegaskan bahawa seorang cendekiawan bukan hanya
sekedar berpikir tentang kebenaran tetapi harus menyuarakannya apapun
rintangannya. Seorang cendekiawan yang benar tidak boleh netral dan harus
memihak kepada kebenaran dan keadilan. Dia tidak boleh menjadi cendekiawan bisu
, kecuali dia betul-betul bisu atau dibisukan.
Jika betul-betul
bisu seorang cendekiawan masih dapat bertinfak dengan menyatakan pikiran
melalui penulisan yang akhirnya akan sampai juga kepada khayalak ramai. Inilah
yang dikatakan cendekiawan bisu yang tidak bisu. Sebaliknya, terdapat
Cendekiawan yang bisu tapi tidak bisu. Dia menjadi bisu mungkin karena dia
takut atau berkepentingan.
Cendekiawan
palsu akan mengelabui mata dan pikiran rakyat denagan kebenaran palsu melalui
penyelewengan fakta dan pernyataan keliru. Cendekiawan palsu banya menggunakan
retorika kosong. Tong kosong nyaring
bunyinya, kata-kata bijak itu sangat cocok bual hal tersebut.
Cendekiawan
menjadi Abdi Negara dan Masyarakat
Peningkatan kapasitas birokrasi
sebagai abdi negara yang melayani kepentingan masyarakat, masih jauh dari
harapan. Program Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi (Kemen PAN-RB), seakan membuahkan hasil memadai, meski berbagai upaya
telah dilakukan. Mengapa ? Sesungguhnya akar penyebabnya terdapat pada budaya
birokrasi di negara ini, yang merupakan hasil kombinasi dari watak dan karakter
birokrasi yang diwarisi dari masa sebelumnya.
Secara
sosiologi, birokrasi dan birokrat, adalah institusi dan kelompok masyarakat
yang dalam keseharian menjadi pejabat atau pegawai pemerintah. Di Indonesia
mereka disebut “Pegawai Negeri,” dan pada masa sebelumnya juga ada beberapa
sebutan tentang mereka. Dimasa Indonesia dibawah raja-raja feodal, misalnya,
mereka disebut sebagai “kaum priyayi atau abdi dalem.” Sedangkan dimasa
penjajahan Belanda disebut “kaum ambtenaar,” dan setelah Indonesia merdeka
disebut “Pegawai Negeri.”
Namun
setelah Indonesia merdeka mereka disebut “abdi negara.” Kendati secara formal
disebut “Pegawai Negeri” (sipil dan militer).
Selain
itu dikenal sebutan “Pamong Praja,” yang diambil dari bahasa Sansekerta yang
kurang lebih bermakna “pengasuh pemerintahan”. Sedang dalam ilmu-ilmu sosial
dan politik, lazimnya disebut sebagai “kaum birokrat”. Dari istilah ini, tentu
sudah tergambar, faktor apa yang menjadi landasan kekuatan serta kekuasaan
politik yang mereka miliki.
Birokrat Sebagai Penguasa
Sebagai
unsur yang berfungsi menjalankan tugas pemerintahan, tentu peranan kaum
birokrat sangat vital, dominan dan strategis. Bahkan kendati saat ini telah tampil
para politisi sebagai penguasa baru, peranan para birokrat tetap strategis.
Bahkan tak jarang para politisi mengadopsi kultur birokrat sehingga mengundang
masalah baru, yakni: Politisasi Birokrasi Pemerintahan. Hal ini antara lain
dari tingginya minat para politisi berebutjabatan di instansi pemerintahan dan
badan-badan usaha milik negara. Kenyataan menunjukkan kuatnya dominasi kaum
birokrat di berbagai aspek kehidupan, hingga kini kuat dan menentukan, terutama
dalam aspek ekonomi dan politik. Mereka dengan berlindung di seragam “abdi
negara”, mampu menggerakkan berbagai lini dan mesin birokrasi pemerintahan,
sehingga sangat strategis menjadi tonggak utama penyangga kekuasaan politik
yang paling tangguh.
Posisi dan Peran Birokrat
Saat
ini para birokrat dipersatukan dalam satu wadah yakni “Korps Pegawai Republik
Indonesia” (KORPRI). Adanya legitimasi politik kepada para “abdi negara”
memberikan keunggulan tersendiri. Sebab, predikat dengan predikat itu selain
cukup memberi kehormatan bagi mereka juga dapat dimanfaatkan untuk membenarkan
berbagai tindakan dan perilaku mereka. Alasan “tugas negara” jadi tameng
pelindung kepentingan pribadi dan atau kelompok.
Status
dan kedudukan birokrat, memang sangat ampuh untuk mengangkat harkat dan
martabat seseorang. Demikian pula untuk mengendalikan masyarakat. Ini dapat
menjelaskan mengapa jadi birokrat selalu jadi cita-cita orang Indonesia. Adalah
kenyataan setiap ada penerimaan calon pegawai negeri, jumlah peminatnya sangat
banyak. Bahkan, agar diterima sebagai pegawai negeri, kerap ada diantaranya
rela menyogok hingga mencapai jutaan rupiah. Menilik standar gaji (resmi)
seorang pegawai negeri, serta tingginya kompetisi memperebutkan status sebagai
birokrat, tentu jelas yang mereka kejar bukan faktor gaji semata. Tapi paling
utama, adalah berbagai kepentingan yang melekat padanya seperti, kehormatan,
kekuasaan, fasilitas, dan sebagainya, yang secara tidak langsung pada
gilirannya dimanfaatkan untuk mengembalikan pengorbanan yang sudah diberikan
pada saat masuk lingkungan pegawai negeri tadi.
Kedudukan
dan status sebagai birokrat, memang dianggap sangat istimewa dalam tradisi
masyarakat Indonesia. Sebab, apapun yang terucap oleh para birokrat, seringkali
dianggap sma dengan hukum yang mengikat setiap warga masyarakat. Kecenderungan
seperti ini, telah melembaga, dan telah mapan. Akibatnya, etos kehidupan para
birokrat tumbuh dengan karakteristik yang khas. Yakni, karateristik yang
identik dengan gaya hidup “priyayi.”
Akar Budaya Birokrasi
Persepsi
masyarakat yang cenderung negatif terhadap perilaku dan kinerja kaum birokrat
yang dintai dengan berbagai ungkapan ketidakpuasaan terhadap kualitas pelayanan
publik, memang berhubungan erat etos kerja birokrat yang mengakar di masyarakat
kita. Patut dipahami bahwa sebagai bangsa, sebenarnya Indonesia pada dasarnya,
belum memiliki format budaya birokrasi yang berorientasi pada fungsi “pelayan
masyarakat.” Filosofy serta sistem kerja birokrat Indonesia, tampak masih
terpaut pada nilai-nilai lama, baik yang berakar pada tradisi priyayi era
kerajaan patrimonial, maupun ambtenar yang dibangun penjajah. Meski dua akar
budaya birokrasi ini memiliki perbedaan, namun esensi sama yakni melayani
penguasa.
Fungsi
birokrasi sebagai pelayan atau abdi penguasa, dalam tradisi masyarakat Jawa,
memang sangat kental. Ini antara lain tercermin pada nama “abdi dalem, yang
berarti, abdi raja. Tentu sejalan dengan karakteristik sistem kekuasaan
kerajaan yang bersifat “patrimonial”, dengan “raja atau sultan” sebagai pusat
(inti) bagi semua aspek dan dinamika kehidupan masyarakat, maka fungsi peran
para abdi dalem tidak lebih sebagai perpanjangan tangan raja untuk mengatur
gerak dan ritme kehidupan masyarakat.
Mereka diberi kewenangan –oleh raja–
sebagai perantara hubungan raja dengan rakyat. Fungsi sebagai perantara ini
diimplementasikan secara efektif terutama dalam hal penarikan pajak (upeti),
pengerahan tenaga kerja, dan untuk menghadapi musuh dari luar. Para abdi dalem
tidak memperoleh upah (gaji), tapi mereka mendapat sebagian dari upeti rakyat
kepada raja.
Dengan
pola pemberian imbalan seperti ini, dan didorong oleh keinginan meniru gaya
hidup sang raja, maka para abdi dalem membebani rakyat dengan pajak yang
berlipat ganda. Hal ini pula yang menyebabkan, hubungan birokrat gaya abdi
dalem lebih menonjolkan watak dasarnya yang eksploitatif terhadap rakyat. Untuk
mengukuhkan kedudukan serta fungsi itu, juga demi melestarikan ketaatan rakyat,
maka penguasa dan abdi dalem membuat berbagai bentuk ritualisasi. Misalnya,
upacara-upacara, berbagai gelar, tata busana, simbol/lencana, dan sebagainya.
Ritualisasi tersebut dimaksudkan, agar kebedaan posisi status dan fungsi tetap
terjaga. Selain itu, melalui ritualisasi itu maka kesetiaan abdi dalem terhadap
penguasa dapat terpelihara. Sebab kunci ritual terpusat di tangan raja.
Lazimnya, dalam penyelenggaraan
acara ritual kerajaan selalu dikaitkan dengan mobilitas vertikal seorang abdi
dalem. Bila mobilitas vertikal itu bergerak ke atas, (kenaikan jabatan, dan
sebagainya), selalu dikaitkan pula dengan kenaikan tingkat kesejahteraannya.
Dampaknya,
secara umum orientasi para abdi dalem selalu ke atas, karena semakin dekat
dengan raja, semakin tinggi pula tingkat kemakmuran, dan tentunya semakin aman
dari kritikan rakyat. Karakter, gaya dan pola hidup birokrat model abdi dalem
ini juga tetap terjaga ketika terjadi peralihan kekuasaan dari raja-raja ke
tangan penguasa penjajah Barat. Hal ini, antara lain tercermin dari perilaku
para “ambtenaar” yang sangat identik dengan perilaku “priyayi-abdi dalem”.
Transformasi
kekuasaan dari kaum ningrat ke tangan kaum kolonial memang melahirkan
perubahan. Namun tidak mendasar. Sebab perubahan yang terjadi, hanya sebatas
dalam bentuk simbolisasi ritual, yang mulai mengadopsi gaya Eropah, sementara
karakter serta hubungan korelatifnya dengan pihak penguasa tetap berjalan
sebagaimana adanya.
Kultur Birokrat
Akibat
format hubungan birokratik negara, bergaya abdi dalem maka terbentuklah
hubungan kerjasama penguasa-birokrat yang bersifat simbiosis-mutualistik.
Artinya, kedua pihak saling membutuhkan dan saling melindungi. Pola hubungan
seperti ini, masih tetap berlanjut hingga saat ini. Keterkaitan kerjasama yang
erat tadi, tentu sudah dapat menjelaskan, mengapa kebocoran uang negara, kasus
kredit bermasalah, berbagai penyelewengan oleh kalangan birokrat tidak pernah
diselesaikan secara terbuka, dan transparan di mata rakyat.
Secara
konseptual, penyelenggaraan kekuasaan negara saat ini telah diletakkan pada
prinsip-prinsip demokrasi. Artinya, kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat.
Dan kekuasaan rakyat itu diterjemahkan sebagai kekuasaan negara. Untuk
menyesuaikan diri dengan perubahan ini, keberadaan fungsi birokrat sebagai
abdi dalem, diganti dengan predikat sebagai “abdi negara” atau “pegawai
negeri.”
Perubahan
predikat ini, tentu selain mempertegas arah orientasi pengabdian kaum birokrat
kepada pemegang kekuasaan (negara), dan juga untuk mengubah citra birokrat
yang identik sebagai instrumen kaum feodal (priyayi). Meski demikian, perubahan
itu belum menyentuh aspek paling dasar. Yakni, perubahan perilaku dan gaya
hidup. Bahkan terdapat kecenderungan, aktualitas fungsional semakin mengalami
deviasi dan distorsi.
Predikat
sebagai “abdi negara” memang sangat mudah melahirkan penyimpangan dalam
orientasi pengabdian. Sebab lembaga negara, bersifat abstrak. Keabstrakan
lembaga negara inilah yang mendorong para abdi negara (birokrat), dengan mudah
meraih legitimasi sebagai kelompok pemegang kekuasaan negara.
Dengan
legitimasi itu para birokrat menuntut ketaatan rakyat (warga negara), yang
dikemas dalam bentuk “pengabdian kepada negara”. Akibatnya, pada prakteknya
yang terjadi adalah, pengabdian rakyat kepada birokrat sebagai abdi negara,
walau secara hakiki, prinsip demokrasi mengakui unsur rakyat sebagai pemilik negara,
dan sekaligus sebagai fokus pengabdian negara.
Posisi
peran kaum birokrat sebagai kelompok penguasa baru di dalam negara, kian lama
semakin terasa kuat, seiring dengan menguatnya peranan negara di berbagai
kehidupan masyarakat. Wajah birokrat seperti ini, tidak hanya dapat dijumpai
ditingkat elite, tapi juga pada strata bawahan. Dalam pengalaman nyata sudah
sering ditemukan, betapa ketidak-berdayaan rakyat saat berurusan dengan para
birokrat. Termasuk dalam urusan yang sangat sepele, seperti, urusan KTP, ijin
pesta, ijin usaha, dan lain sebagainya.
Demokratisasi Birokrasi
Belakangan
kemapanan status istimewa para birokrat mulai terusik Meningkatnya kesadaran
masyarakat akan kesetaraan kedudukan, serta kesamaan hak dan kewajiban dalam
hidup berbangsa, bernegara dan bermasyarakat yang kiat menguat, pada
gilirannya mendorong tumbuhnya sikap kritis masyarakat terhadap posisi peran
kaum birokrat yang istimewa tersebut.
Proses
demokratisasi dalam tata nilai sosial saat ini mulai menggoyahkan dasar
keistimewaan peran kaum priyayi masa kini. Dampaknya kaum birokrat selalu
menjadi sasaran kritik, dituding sebagai penyebab ketidakberesan dalam
pengelolaan negara. Demikian pula, perilaku kaum nirokrat selalu juga menjadi
bahan gunjingan ketika tingkat kebocoran uang negara, dan meluasnya praktek
pungli –sebagai salah satu penyebab rendahnya upah pekerja—jadi sorotan
masyarakat.
Kritik
serta penilaian negatif terhadap perilaku kaum birokrat, dalam perkembangannya
memang semakin berani diungkap terbuka. Dalam persepsi masyarakat awam, etos
kehidupan birokrat, seringkali dianggap identik dengan ketidak-beresan
pelayanan, kerja santai, praktek kolusi, komersialisasi jabatan, serta arogansi
kekuasaan. Munculnya, penilaian seperti ini, sebenarnya bukan kekeliruan
masyarakat semata.
Tapi dalam banyak hal, juga itu
terjadi karena sikap kaum birokrat itu sendiri, yang cenderung tidak mau
memahami arus demokratisasi yang berlangsung saat ini. Kenyataan menunjukkan,
bagian terbesar birokrat kita, dalam interaksi sosial masih berperilaku
“priyayi”. Mereka belum memposisikan dirinya sebagai “pelayan masyarakat”.
bahkan menempatkan dirinya sebagai bangsawan yang harus dilayani.
Pada
hal keberanian rakyat menuntut hak-hak pelayanan semakin meningkat. Akibatnya,
yang terjadi bukan hanya sebatas kritik sebagai gerak reaksi masyarakat, tapi
juga gugatan balik terhadap para birokrat itu sendiri. Sebagaimana terlihat
dari kenaikan kasus yang sedang ditangani oleh Pengadilan Tata Usaha Negara
(PTUN).
Dampak Demokratisasi Birokrasi
Meski
kemapanan peran kaum birokrat bagi kehidupan masyarakat kian hari semakin
berkembang meluas, namun secara sosio-kultural, posisi tersebut lama kelamaan
akan mengalami pergeseran. Secara faktual, nuansa kehidupan birokrat di masa
kini, semakin berbeda dengan sosok birokrat era abdi dalem atau priyayi.
Semakin
berkembangnya kesadaran akan demokrasi, serta ketergantungan sumber penghidupan
birokrat pada gaji yang relatif minim, telah mengakibatkan kegagalan mereka
untuk mempertahankan posisi sebagai lapisan sosial tersendiri yang eksklusif di
masyarakat.
Meningkatnya
kemajuan di bidang pendidikan serta ekonomi, telah memberikan peluang bagi
setiap kelompok masyarakat untuk dapat tampil sebagai lapisan elite dalam
struktur sosial. Sementara arus demokratisasi telah mengubah pola rekrutmen di
lingkungan birokrasi, yang lebih mengutamakan faktor keahlian/profesionalisme,
ketimbang aspek hubungan darah atau silsilah gaya abdi dalem atau priyayi.
Dampak dari perubahan tersebut adalah, status sosial sebagai birokrat selalu
dipandang sebagai status yang berada pada kedudukan yang setara atau tidak
berbeda dengan kelompok sosial lainnya.
Kendati
nuansa pergeseran semakin memasyarakat, namun tampaknya masih ada keengganan
kaum birokrat untuk melepaskan bayangan elititas kehidupan di masa silam.
Berbagai upaya untuk mengembalikan keberadaan status elite ala jaman feodal,
memang masih kuat menggejala, meski secara halus diikemas dengan dalih
“pengabdian kepada negara”.
Indikator
dari keinginan tampil beda dengan masyarakat kebanyakan, antara lain tercermin
dari banyaknya atribut ritual kebirokratan yang digunakan saat ini. Misalnya,
berbagai upacara jabatan, peraturan penggunaan pakaian seragam (safari) dengan
badge dan lencananya, upacara penyumpahan untuk kesetiaan kepada pemilik kekuasaan
(negara), pengarahan dan sebagainya. Bentuk ritualisasi tersebut, mungkin saja
berbeda dengan masa abdi dalem dan priyayi. Namun esensi yang terkandung di dalamnya,
sebetulnya sama.
Politisi - Birokrat
Meski
banyak dimensi persamaan antara birokrat era “abdi dalem/priyayi” dengan
birokrat era “abdi negara/pegawai negeri”, namun ada juga perbedaannya. Yang
paling menonjol adalah keterlibatan serta besarnya peranan birokrat “abdi
negara/pegawai negeri” di dalam kegiatan politik.
Faktor
keterlibatan dalam politik inilah yang sesungguhnya menjadi daya pikat
birokrat masa kini. Sebab kekuasaan yang ia miliki dapat mengantarkannya
menjadi mesin politik yang efektif. Di masa Presiden Soekarni, kemenangan
politik, Partai Nasional Indonesia (PNI) dan kemudian kemenangan Golongan Karta
di era rezim Orde Baru dapat menjelaskan efektivitas jaringan birokrasi sebagai
alat mobilisasi massa politik, untuk memenangkan satu organisasi politik.
Lazimnya,
penguasaan jaringan birokrasi untuk kepentingan politik dilakukan dengan cara
mendudukkan para politisi pada posisi strategis di dalam struktur birokrasi
pemerintahan, atau dengan merekrut para pejabat birokrat menjadi kader
penggerak pada organisasi sosial politik tertentu. Pola seperti ini, pada
gilirannya telah menumbuhkan satu kelompok inti birokrasi. Yakni “politisi-birokrat”,
atau “birokrat-politisi”.
Ekspansi
peranan politisi birokrat dalam dunia politik saat ini semakin luas. Hal ini,
karena dalam praktek politik, mereka mampu menggunakan faktor kekuasaan birokrasi,
untuk menunjang pencapaian tujuan politik. Akibatnya, banyak mantan birokrat
termasuk mantan tentara masuk ke partai politik sehingga peluang politisi non
birokrat cenderung tergeser. Tentu terkecuali para politisi non birokrat yang
memiliki basis kekuatan ekonomi dalam jumlah memadai sehingga dapat melakukan
tawar-menawar dengan pihak politisi birokrat. Meski dalam konteks normatif
peluang politisi Parpol kini semakin terbuka. Peluang untuk meraih jabatan
tersebut memang terbuka luas, namun dalam prakteknya selalu kandas di tengah
jalan, karena tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh politisi
birokrat.
Keterlibatan
para birokrat dalam politik, sesungguhnya hal yang wajar. Namun menjadi tidak
wajar, jika didasarkan pada kepentingan politik suatu kelompok/golongan. Sebab
jika itu terjadi pasti bakal merugikan rakyat dan negara. Menurut Moerdiono[2]
pernah menyusun kontur model birokrasi atau abdi Negara Indonesia sebagai berikut :
- Birokrasi Indonesia perlu dipahami sebagai bagian integral dari sistem penyelenggaraan negara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
- Birokrasi Pemerintahan, kita maksudkan sebagai birokrasi sipil dibawah cabang eksekutif.
- Birokrasi Pemerintahan merupakan bagian dari suprastruktur politik dan mempunyai hubungan fungsional dengan lembaga penyeleggara negara lainnya.
- Birokrasi Indonesia bukan alat mati pemerintahan tapi diharapkan mempunyai kesadaran nasional yang tinggi, yang mampu secara kreatif melaksanakan tugas pemerintahan dan tugas pembangunan dengan efektif dan efisien.
- Birokrasi Indonesia harus dibangun secara berencana.
Secara bertahap sebaiknya dikembangkan
terminologi birokrasi yang sesuai dengan konteks filsafati dan idiologi kita.
Lebih lanjut praktisi
administrasi negara yang adalah mantan Menteri Sekretaris Negara masa
pemerintahan Pesiden Soeharto ini, merumuskan sebuah definisi kerja birokrasi
pemerintahan seperti berikut :
“Birokrasi Pemerintahan adalah seluruh jajaran badan
eksekutif sipil, yang dipimpin oleh pejabat pemerintah dibawah tingkat menteri,
yang tugas pokoknya adalah menindaklanjuti keputusan politik yang telah diambil
pemerintah”[3]
Dengan
mencermati kontur model birokrasi Indonesia seperti tersebut diatas, kita dapat
melihat bagaimana besar harapan yang ditumpukan pada birokrasi dalam
penyelenggaraan tugas tugas pemerintahan dan tugas pembangunan. Harapan ini
adalah hal yang logis, terlebih pembentukan birokrasi pada dasarnya dimaksudkan
untuk melaksanakan prinsip prinsip organisasi secara lebih efisien. Meskipun
demikian, dalam pelaksanaannya birokrasi malah membuat berbagai
ketidakefisienan[4].
Birokrasi, memang dapat menjadi kekuatan yang baik untuk pertumbuhan (sebagai
hasil kegiatan yang efisien) tetapi juga dapat menjadi alat yang menghambat
pertumbuhan.
Di Barat pada umumnya, birokrasi
lahir sebagai produk dari proses industrialisasi. Proses industrialisasi yang
semakin meluas, menuntut masyarakatnya untuk menekankan nilai nilai
individualitas, spesialisasi serta profesionalisme. Nilai nilai tadi telah
melandasi perkembangan birokrasi untuk menjadi alat yang efisien dari
masyarakat dalam mencapai tingkat kemajuan yang diinginkannya. Pertumbuhan
dalam birokrasi relatif seimbang antara birokrasi publik dengan birokrasi
perusahaan (private). Dengan demikian, gerak industrialisasi yang merupakan usaha
swasembada masyarakat, akhirnya dapat berkembang nyaris tanpa intervensi
Di Indonesia, khususnya sejak era
orde baru, birokrasi tumbuh sebagai instrumen untuk menggalakkan industrialisasi dan modernisasi
masyarakatnya. Hasil hasil pembangunan dalam bidang ekonomi, pertanian,
kesehatan, Keluarga Berencana, perumahan dan lain lain, untuk sebagian besar
adalah merupakan hasil karya birokrasi kita. Birokrasi Indonesia, dalam
mengemban tugas pemerintahan dan tugas tugas pembangunan yang semakin kompleks,
memadukan dua kekuatan besar yang saling menopang yakni intelektual dan
militer. Militer dengan jiwa nasionalisme cukup berandil dalam membersihkan
pengaruh pengaruh primordial, dan kaum intelektual, dengan konsep konsep
pembangunannya yang rasional, telah memberikan bobot yang tinggi pada program
program pembangunan nasional.
Hasil hasil karya birokrasi dalam
pembangunan nasional dapat tercapai, karena terciptanya stabilitas yang mantap,
yang dianggap sebagai sine
qua non kontinuitas pembangunan. Tingginya kehendak
untuk mencapai akselerasi hasil hasil pembangunan, ternyata tidak diiringi oleh
potensi swasta yang solid, sehingga menyebabkan perlunya intervensi pemerintah
yang kemudian menyusup hampir kesemua sektor kehidupan masyarakat. Disamping
itu, latar belakang sosial budaya masyarakat belum begitu kondusif dalam
mendorong tumbuhnya budaya birokrasi yang bersih dan efisien.
- Budaya formalisme yang melahirkan birokrasi yang mengutamakan simbol simbol dan seremonial seremonial ketimbang produktivitas dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
- Budaya feodalisme dan paternalisme yang melahirkan birokrasi dengan orientasi status dan senioritas lebih menonjol, ketimbang profesionalisme dan kreativitas.
- Jiwa kekeluargaan yang menghasilkan nepotisme dalam pemberian pelayanan publik.
- Budaya upeti dan kaburnya demarkasi dinas-pribadi, yang pada gilirannya melahirkan korupsi dan penyalahgunaan harta kekayaan negara.
Dari paparan diatas dapat
disimpulkan bahwa ,budaya masyarakat lokal Indonesia telah mempengaruhi dan ikut
mewarnai prilaku birokrasi kita. Disamping pengaruh budaya lokal itu, juga
adanya sistem kekuasaan yang monolit dan lemahnya kontrol politik terhadap
birokrasi telah memberikan iklim yang subur bagi berkembangnya penyimpangan
penyimpangan dalam birokrasi. Timbulnya penyimpangan penyimpangan ini, akhirnya
membuat citra negatif (red-tape) terhadap kinerja birokrasi pemerintah . Dipihak lain, gerak lajunya
pembangunan (di Indonesia) memang telah membawa serta upaya upaya untuk merubah
pola prilaku birokrasi kearah prosedur dan cara cara kerja yang lebih efisien.
Abdi Negara,Hanya
Sebatas Wacana?
Pada masa orde reformasi dan orde sesudahnya (hingga saat ini),
reformasi birokrasi telah banyak diwacanakan dan diagendakan,bahkan mungkin
telah betul betul secara serius dilaksanakan. Beberapa diantaranya adalah diberlakukannya PP No.8
tahun 2003 tentang restrukturisasi organisasi pemerintah daerah dengan konsep
MSKF (Miskin Struktur Kaya fungsi).Tujuannya jelas jelas adalah untuk rasionalisasi
birokrasi di lingkup pemerintahan daerah. Kemudian juga ada perubahan paradigma
dari UU Nomor 5 tahun 1974 yang menggunakan the structural efficensy model
menuju UU Nomor 22 tahun 1999 yang selanjutnya diperbaharui dengan UU Nomor 32
tahun 2004 yang lebih cenderung menggunakan the
local democracy model[6].
Agenda reformasi tersebut tampaknya merupakan jawaban atas semakin meningkatnya
tuntutan masyarakat serta banyak didorong oleh konsep konsep perubahan yang
datang dari luar Indonesia seperti entrepreneurial
bureaucracy, reinventing government,
good governance dan sebagainya.
Good governance misalnya,
adalah suatu mekanisme kerja,dimana aktivitas pemerintahan berorientasi pada
terwujudnya keadilan social dimana pemerintah diharapkan mampu secara maksimal
melaksanakan 3 fungsi dasarnya yakni service,development,empowerment.
Adapun konsekuensi dari pelaksanaan good governance,setidaknya terlihat dari 3
hal berikut : pertama,pemerintah mengambil posisi sebagai fasilitator dan
advocator kepentingan public, kedua, adanya perlindungan yang nyata terhadap
“ruang dan wacana” public,serta yang ketiga, mengakui dan menghormati
kemajemukan politik dalam rangka mendorong partisipasi dan mewujudkan
desentralisasi[7]
Meskipun banyak agenda reformasi telah diintrodusir,dalam prakteknya
perubahan tersebut cukup sulit dilakukan.Beberapa data membuktikan bahwa
birokrasi public di Indonesia pada era reformasi belum sepenuhnya siap
menghadapi perubahan.
Pertama,laporan dari the world competitivness yearbook tahun 1999 yang
menyatakan bahwa birokrasi Indonesia berada pada kelompok Negara Negara yang
memiliki indeks competitivness yang paling rendah diantara 100 negara yang
diteliti [8]kedua,hasil
penelitian PSKK UGM tahun 20000 di 3 provinsi yang menyimpulkan bahwa kinerja birokrasi
dalam pelayanan public masih amat buruk disebabkan oleh kuatnya pengaruh
paternalisme.[9]Ketiga,
hasil kajian political and economic risk consultancy di 14 negara tahun
2001,menyatakan adanya indikasi kinerja birokrasi di Indonesia yang makin buruk
dan korup[10]Sementara itu,dalam lokus Negara Negara
berkembang, studi Dwight King[11]
mengungkapkan beberapa sisi buram ciri birokrasi di negara berkembang seperti :
tidak efisien, jumlah pegawai yang berlebihan, tidak modern atau ketinggalan
jaman, seringkali menyalahgunakan wewenang, tidak ada perhatian atau
mengabaikan daerah daerah miskin dan tidak tanggap atas keragaman kebutuhan dan
kondisi daerah setempat.
Terkait dengan sulitnya melakukan perubahan dalam tubuh
birokrasi,ada seorang pakar yang mengatakan bahwa sejumlah gejala autisme telah
menjangkiti tubuh birokrasi.Symptomp-sumptomp yang menunjukkan autisme itu
antara lain :[12]
- Birokrasi cenderung mempertahankan kebiasaan yang sudah mapan,sehingga sangat sulit menerapkan perubahan
- Birokrasi sulit menerima konsep konsep pembaharuan atau pelajaran, apalagi pelajaran itu datangnya dari pihak lain
- Birokrasi pandai meniru-nirukan konsep konsep perubahan (reinventing government,wirausaha birokrasi, clean government & good governance,dll
Asik dengan kesibukan sendiri termasuk menyibukkan diri dengan
mengidentifikasi konsep perubahan/reformasi,tetapi tidak ada hasil yang
signifikan
Menanggapi lemahnya kinerja birokrasi dan dalam rangka mewujudkan
good governance, setumpuk resep, pendekatan, strategi, model / paradigma
reformasi telah diberikan oleh banyak pakar.Mulai dari penerapan merit system
dalam rekcruitment aparatur, perbaikan system-struktur atau penataan
kelembagaan, aturan organisasi,pedoman kerja,penerapan asas keadilan dan
ketegasan dalam hal reward and punishment sampai kepada perubahan mind set
aparatur dan cultural set –nya.
Bahkan,saat ini sedang digodok,rancangan undang undang baru yang
juga dalam rangka mewujudkan good governance,yaitu UU tentang Administrasi
Pemerintahan dan UU Etika
Penyelenggaraan Negara.Diharapkan rancangan UU yang sarat dengan semangat
reformasi ini bisa dibahas di DPR RI tahun ini.Penulis kebetulan terlibat dalam
Uji Materi RUU tersebut pada tanggal 20 september 2007,yang merupakan kegiatan
ke 4,kegiatan mana sebelumnya telah dilakukan berturut turut mulai tanggal 14
dan 28 Mei 2007 di Jakarta khusus untuk pejabat pemerintahan tingkat pusat dan
pada tanggal 18 September 2007 di Surabaya untuk pejabat pemerintah propinsi
Jawa Timur,Peradilan TUN, kejaksaan, kepolisian, LSM dan Perguruan
Tinggi.Sedangkan untuk RUU Etika penyelenggaraan Negara telah diadakan
lokakarya pada 7 daerah provinsi yang mewakili wilayah Timur,Tengah dan Barat
Indonesia.[13] Akankah payung hukum ini mampu mengemban misi reformasi?ataukah akan
bernasib sama seperti UU sejenis yang telah ada?!
Penutup
Harapan kita semua,good
governance segera terwujud di negeri tercinta ini sehingga masyarakat
Indonesia menuai kesejahteraan lahir dan bathin seperti harapan para founding
father kita. Maka disini, peran para penyelenggara pemerintahan Negara dan kaum
birokrat kita merupakan ujung tombak keberhasilannya
dan kita semua rakyat Indonesia harus berperan aktif menopangnya.
Jika
dikiatkan dengan fenomena demokratisasi dan modernisasi, maka perubahan budaya
birokrasi akan tak terelakkan. Ini tentu positif bagi bagi kehidupan bangsa dan
negara. Menguatnya kesadaran politik rakyat, serta kesadaran umum tentang
fungsi birokrat sebagai pelayan masyarakat, pada akhirnya menuntut adanya
sumber daya manusia birokrat yang profesional. Dampaknya pola rekrutmen sumber
daya manusia birokrat, sistem promosi jabatan yang seringkali mengutamakan
faktor kedekatan politik, menjadi tidak relevan. Demikian pula pemanfaatan
jaringan birokrasi pemerintahan untuk kepentingan politik dari suatu kelompok
tertentu jadi terbatas.
Fenomena
ini tentu patut dicermati sebab kebiasaan para birokrat ta yang mapan tidak
hanya menyebabkan ketebengkalaian tugas pelayanan masyarakat, tapi dalam
kondisi tertentu akan bisa menimbulkan reaksi balik dari masyarakat itu
sendiri. Reaksi balik itu
dalam skala pasif berupa ketidak-percayaan terhadap para abdi negara dan bila
diabaikan bisa berubah menjadi pembangkangan atau perlawanan terhadap kebijakan
birokrasi yang dinilai sudah jauh menyimpang dari fungsi sebagai pelayan
masyarakat.Meskipun demikian, mengubah perilaku birokrat kedalam format ideal,
jelas tidak mudah. Sebab akar tradisi sebagai bagian dari penguasa yang
diwariskan oleh etos abdi dalem/priyayi sudah terlanjur melekat sebagai etos
kehidupan para birokrat.
Pendidikan
yang sistimatis kearah perubahan kultural, mungkin dapat dijadikan sebagai
sarana menuju perbaikan. Namun, siapa yang harus memulai itu semua. Sebab
sangat mustahil, bila mengharapkan datangnya perubahan dari kaum birokrat
sendiri, tanpa ada desakan politik dari lapisan rakyat.
Referensi
Bryant, Coralie
& White, Louis G., Manajemen Pembangunan Untuk Negara
Berkembang, Rusyanto
L.(Peny) LP3ES, Jakarta, 1987.
Cullen,Ronald B
& Donald P.ushman (2000), Transitions to competitive government:
speed,consensus and performance,Albany,New York: State university of New York
Press.
Dwiyanto,Agus dkk.,
Teladan dan Pantangan dalam Penyelenggaraan Pemerintahan dan Otonomi
Daerah,Galang Printika,Yogyakarta,2003
Graham, Cole B.,
Jr., & Hays S.W., Managing
The Public Organization, Washington DC : CQ Press, 1986.
Jackson, Karl D., The Implication of Structure and Culture in Indonesia on Jackson, Karl D., & Pye, Lucian W.,
eds., Political Power and Communication in Indonesia, 1978.
King, Dwight Y., Pengawasan dan Birokrasi di Negara Berkembang, dalam Prisma, LP3ES, 1989.
Kompas, 22 Juni 2001
Luthans, Fred, Organization Behaviour, Mc-Graw Hill Book, New York
1973.
Mustopadidjaja,
AR.,Paradigma
Pembangunan Administrasi Negara dan Manajemen Pembangunan, Pusat Pendidikan dan Latihan
Pegawai Negeri, Jakarta.
Moerdiono, Mencari Model Birokrasi Indonesia, dalam Birokrasi dan
Administrasi Pembangunan, Nirwandar S., & Tedjo, I., (peny), Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 1992
Muhaimin, Yahya, Birokrasi Seharusnya Apolitis , dalam Prisma, LP3ES, 1989
---------------, Beberapa Segi Birokrasi di Indonesia, dalam Beberapa Aspek
Pembangunan Orde Baru ; Esei Esei dari Fisipol Bulaksumur, Abar, A.
Zaini (peny), Ramadhani, Solo, 1990
Nurhardjatmo, dkk.,
Efektivitas
Kebijaksanaan Pembangunan, Fakultas Pasca Sarjana UGM,
Yogyakarta.
Suganda, Dann, Beberapa Aspek Kebijakan Birokrasi, Media Widya Mandala,
Yogyakarta, 1991.
Tim Fisipol Unwar,
Orasi ilmiah “Mewujudkan Birokrasi Yang mengedepankan etika pelayanan
Publik’,disampaikan pada Dies Natalis XXII dan wisuda Sarjana XXXIV Universitas
Warmadewa,23 September 2006
Toha, Miftah, Perspektif Prilaku Birokrasi, Rajawali Pers, Jakarta, 1987.
Tjokrowinoto,
Moelyarto, Sosok
Birokrasi Indonesia Dalam Era Tinggal
Landas, Makalah
Untuk Pertemuan Mahasiswa Administrasi Indonesia, Kaliurang, Yogyakarta, 1989.
Widodo,R.Triputro, Autisme Birokrasi,Jurnas
Sarathi Vol 12 No.2 Mei 2005
Yudhiantara,I Made,
Memahami Performance Biro Rasional Kita dari perspektif model,Jurnal Sarathi
No.08 Th IV Juli 1997
---------------,Pengawasan dan Pemberdayaan
Frontliner Birokrasi Pembangunan Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik,Jurnal
sarathi No.03 Th II Januari 1995
---------------Reformasi
Birokrasi pelayanan Umum (Pokok Pokok Pikiran), Jurnal Sarathi No.10 Th V
Agustus 1998
[1] Penulis adalah
Mahasiswa Ilmu Sejarah Program Pasca Sarjana(PPs) Universitas Andalas Padang
Sumatera Barat.
[2]Moerdiono, Mencari Model Birokrasi
Indonesia, dalam Birokrasi dan Administrasi Pembangunan, Nirwandar S., & Tedjo, I., (peny),
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1992
[4]Nurhardjatmo, dkk., Efektivitas Kebijaksanaan
Pembangunan, Fakultas Pasca
Sarjana UGM, Yogyakarta.
[6] Tim Fisipol Unwar, Orasi ilmiah “Mewujudkan Birokrasi Yang mengedepankan
etika pelayanan Publik’,disampaikan pada Dies Natalis XXII dan wisuda
Sarjana XXXIV Universitas Warmadewa,23 September 2006
[8]Cullen,Ronald B & Donald P.ushman
(2000), Transitions to competitive
government: speed,consensus and performance,Albany,New York: State
university of New York Press.
[9]Dwiyanto,Agus dkk., Teladan dan Pantangan dalam Penyelenggaraan Pemerintahan dan Otonomi
Daerah,Galang Printika,Yogyakarta,2003
[10]Kompas, 22 Juni 2001
[11] King, Dwight Y., Pengawasan dan Birokrasi di
Negara Berkembang, dalam
Prisma, LP3ES, 1989.
[13]Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur
Negara,sambutan pada acara Uji Materi RUU Administrasi Pemerintahan dan RUU
Etika Penyelenggara Negara Tingkat Provinsi Bali,Denpasar 20 September 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar