Jumat, 17 Mei 2013

Cendekiawan Abdi Negara


Cendekiawan Budaya Birokrat Indonesia –dari Abdi Dalem hingga Abdi Negara
Oleh:
 Andre Vetronius[1]


Pendahuluan
Cendekiawan atau intelektual ialah orang yang menggunakan kecerdasannya untuk  bekerja, belajar, membayangkan, menggagas, atau menyoal  dan menjawab persoalan tentang brbagai gagasan. Kata cendekiawan berasal dari Chanakya seorang politikus dalam pemerintahan Chandragupta dari kekaisaran Maurya. Tak bisa dipungkiri juga cendekiawan yang akan menjadi abdi negara dan masyarakat.

Setiap warga negara akan selalu berhubungan dengan aktivitas Birokrasi Pemerintahan. Bahkan ketika seseorang masih berada dalam kandungan ia sudah mulai tergantung dengan pelayanan birokrasi. Apakah untuk keperluan pemeriksaan kesehatan (di RS atau Puskesmas ) atau setelah lahir dan harus mendapatkan “sertifikat sebagai warga dunia” berupa akta kelahiran. Ketergantungan  dengan birokrasi itu terus berlanjut, seiring dengan bertambahnya usia seseorang atau sejalan dengan ragam aktivitas yang dilakukan ditengah masyarakat. Sementara itu, jenis pelayanan umum yang diselenggarakan birokrasipun sangat kompleks  dan bahkan memasuki hampir setiap aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Intervensi birokrasi yang demikian ini, sah-sah saja adanya, karena justru untuk menyelenggarakan fungsi itulah birokrasi  dibentuk.  
      Merupakan hal yang logis, jika kemudian birokrat atau aparatur publik itu dijuluki  Abdi Negara, karena pada pundaknya tugas-tugas kemasyarakatan, pemerintahan dan pembangunan diselenggarakan atas nama “organisasi politik super besar” yang disebut “negara”. Namun penting diingat, legitimasi yang diterima para abdi negara itu bersumber dari kepercayaan rakyat yang berdaulat. Artinya, seorang abdi negara  adalah seseorang yang mengemban amanat rakyat untuk mengayomi kepentingan kepentingan mereka (rakyat). Jadi, jika dikaitkan dengan sumber legitimasi ini, maka seseorang aparatur negara/ publik (pegawai negeri, birokrat atau abdi negara) itu, sesungguhnya adalah seorang abdi masyarakat. Ini berarti, bahwa tugas aparatur publik adalah melayani  masyarakatnya (public service).
       Kompleksnya pelayanan umum yang diberikan birokrasi, semakin mengabsahkan jaringan hirarkinya yang terbentang luas dari pusat hingga ke pelosok desa. Mengemban amanat rakyat, mengayomi dan memberikan pelayanan kepada mayarakat, mengadministrasikan tugas tugas pemerintahan dan pembangunan, adalah sebagian besar dari tanggung jawab yang diembannya. Dengan berbekal kode etik “Sapta Prasetya”, iapun dituntut berprilaku bersih sehingga wibawa dan kemuliaan memancar dari korpnya
Sudah sewajarnyalah rakyat berterima kasih kepada para “abdi” nya itu dan kemudian menaruh hormat terhadap lembaga atau korpnya. Tidak ada alasan bagi rakyat untuk tidak respek terhadap birokrasi. Namun ironisnya, persepsi masyarakat selama ini terhadap birokrasi tidaklah demikian adanya. Kondisi faktual dimasyarakat menunjukkan, bahwa berhubungan dengan birokrasi berarti berhadapan dengan kekuasaan perijinan yang menjelimet, penghormatan dari meja ke meja, atau bahkan formalisme yang eksesif.. Yang lebih parah lagi,acapkali rakyat diposisikan sebagai pembeli jasa yang harus siap membeli tiket layanan alias  amplop pelican,sekedar untuk mendapatkan layanan birokrasi. Hal ini disebabkan karena prosedur pelayanan yang semestinya memudahkan masyarakat sering ditunggangi kepentingan pribadi birokrat dan tidak jarang dijadikan komoditi layak jual.
Fenomena ini berlanjut mentradisi dalam korp birokrasi, meskipun sesungguhnya instrumen untuk menyikapinya sudah tersedia (misalnya, sistem pengawasan). Masyarakat pengguna jasa menganggap produk layanan birokrasi itu bukan lagi haknya yang dengan mudah dapat diperoleh (hanya dengan mengganti biaya bahan baku produk tersebut), melainkan telah memandang birokrasi itu sesuatu yang harus diakses dengan  koneksi tertentu mirip mekanisme hukum pasar. Dengan demikian ketentuan bahwa birokrasi memiliki kewajiban untuk melayani masyarakat menjadi berbalik, karena masyarakatlah yang harus “pintar” melayani kemauan birokrasi tersebut. Berangkat dari sinilah, fenomena kolusi, pungli dan penguasa perijinan dipersepsikan oleh masyarakat identik dengan birokrasi itu sendiri.
 “ Jargon abdi masyarakat hanyalah tinggal kenangan belaka atau sekedar slogan yang indah ?”.
            Menyikapi keadaan yang demikian itu, wajar jika kemudian timbul pertanyaan seputar peran birokrasi sebagai lembaga penyelenggara pelayanan masyarakat. “Benarkah birokrat itu abdi masyarakat?”
          Gejala phatologis birokrasi seperti yang telah dipaparkan diatas itu, menjadi semakin kronis ketika tumor tumor birokrasi lainnya, turut menghias kinerja birokrasi seperti : adanya proliferasi dan struktur ganda, instransparansi pertanggungjawaban (yang menyulut lahirnya manipulasi dan korupsi ), aplikasi patronase dalam rekrutmen pegawai (yang menyuburkan nepotisme dan suap), serta praktik mal-administrasi maupun mis-manajemen lainnya.
          Meskipun kondisi yang diungkapkan itu belum sepenuhnya dapat digeneralisir, apapun alasannya, fenomena yang demikian itu tentu tidak dapat dibiarkan berlarut. Sebab, jika fenomena phatologis itu dibiarkan menahun, maka tidaklah mustahil “krisis kepercayaan” masyarakat terhadap birokrasi suatu saat akan berubah menjadi destruktif. Dibeberapa tempat, ketakutan kaum birokrat elit untuk menggunakan kendaraan “plat merahnya” karena khawatir akan menjadi sasaran amuk massa, adalah indikator bahwa posisi rakyat telah berseberangan dengan birokrasi.
          Penting diingat bahwa, kita  tidak apriori dengan prestasi pembangunan yang berhasil dicapai selama ini, yang sebagian besar merupakan andil birokrasi dalam totalitas kinerjanya.Akan tetapi,  prestasi birokrasi dalam pembangunan itu akan tenggelam begitu saja jika penyakit birokrasi yang diderita selama ini, betapapun ringannya, dibiarkan terus tanpa solusi “penyembuhan”.

Secara umum terdapat tiga pengertian modren untuk istilah cendekiawan yaitu;
1.      Mereka yang amat terlibat dalam idea-idea dan buku-buku
2.      Mereka yang mempunyai keahlian dalam budaya dan seni yang memberikan mereka kewibawaan kebudayaan dan yang kemudian mempergunakan kewibawaan itu untuk mendiskusikan perkara-perkara lain di khalayak ramai. Golongan ini dipanggil sebagai intelektual budaya.
3.      Dari segi Marxisme mereka tergolong dalam kelas dosen, guru, pengacara, wartawan dan sebagainya.
Oleh karena itu cendekiawan sering dikaitkan dengan mereka yang lulusan universitas. Namun,Sharif Shaary, dramawan Malaysia terkenal mengatakan bahwa hakikatnya tidak semudah itu ia berkata:
“Belajar di Universitas buakan jaminan seseorang dapat menjadi cendekiawan. Seorang cendekiawan adalah pemikir yang senantiasa berpikir dan mengembangkan (serta) menyumbangkan gagasannya untuk  kesejahteraan masyarakat. Ia juga adalah seorang yang mempergunakan ilmu dan ketajaman pikirannya untuk mengkaj, menganalisis, merumuskan segala perkara dalam kehidupan manusia, terutama masyarakat dimana ia hadir khususnya dan diperingkat global umum untuk mencari kebenaran dan menegakkan kebenaran itu. Lebih dari itu, seorang intelektual juga seseorang yang mengenali kebenaran dan berani memperjuangkan kebenaran itu, meskipun menghadapi tekanan dan ancama, terutama sekali kebenaran, kemajuan, kebebasan untuk rakyat.

Tiga Tahap Perkembangan Cendekiawan atau Intelektual
Menurut August Comte ada tiga tahap perkembangan cendekiawan atau intelektual yang masing-masing merupakan perkembangan dari tahap sebelumnya:
1.      Tahap teologis; tingkat pemikiran manusia bahwa semua benda didunia mempunyai jiwa dan itu disebabkan oleh suatu kekuatan yang berada di atas manusia.
2.      Tahap metafisis; tahap manusia mengganggap bahwa didalam setiap gejala terdapat kekuatan atau inti tertentu yang pada akhirnya akan dapat diungkapkan. Oleh karena adanya kepercayaan bahwa setiap cita-cita terkait pada suatu realitas tertentu dan tiadak ada usaha untuk menemukan hukum-hukum alam yang seragam.
3.      Tahap positif;tahap dimana manusia mulai berpikir secara ilmiah.
Cendekiawan bisu dan palsu
Sharif shaary menegaskan bahawa seorang cendekiawan bukan hanya sekedar berpikir tentang kebenaran tetapi harus menyuarakannya apapun rintangannya. Seorang cendekiawan yang benar tidak boleh netral dan harus memihak kepada kebenaran dan keadilan. Dia tidak boleh menjadi cendekiawan bisu , kecuali dia betul-betul bisu atau dibisukan.
Jika betul-betul bisu seorang cendekiawan masih dapat bertinfak dengan menyatakan pikiran melalui penulisan yang akhirnya akan sampai juga kepada khayalak ramai. Inilah yang dikatakan cendekiawan bisu yang tidak bisu. Sebaliknya, terdapat Cendekiawan yang bisu tapi tidak bisu. Dia menjadi bisu mungkin karena dia takut atau berkepentingan.
Cendekiawan palsu akan mengelabui mata dan pikiran rakyat denagan kebenaran palsu melalui penyelewengan fakta dan pernyataan keliru. Cendekiawan palsu banya menggunakan retorika kosong. Tong kosong nyaring bunyinya, kata-kata bijak itu sangat cocok bual hal tersebut.

Cendekiawan menjadi Abdi Negara dan Masyarakat
            Peningkatan kapasitas birokrasi sebagai abdi negara yang melayani kepentingan masyarakat, masih jauh dari harapan. Program Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PAN-RB), seakan membuahkan hasil memadai, meski berbagai upaya telah dilakukan. Mengapa ? Sesungguhnya akar penyebabnya terdapat pada budaya birokrasi di negara ini, yang merupakan hasil kombinasi dari watak dan karakter birokrasi yang diwarisi dari masa sebelumnya.
            Secara sosiologi, birokrasi dan birokrat, adalah institusi dan kelompok masyarakat yang dalam keseharian menjadi pejabat atau pegawai pemerintah. Di Indonesia mereka disebut “Pegawai Negeri,” dan pada masa sebelumnya juga ada beberapa sebutan tentang mereka. Dimasa Indonesia dibawah raja-raja feodal, misalnya, mereka disebut sebagai “kaum priyayi atau abdi dalem.” Sedangkan dimasa penjajahan Belanda disebut “kaum ambtenaar,” dan setelah Indonesia merdeka disebut “Pegawai Negeri.”
          Namun setelah Indonesia merdeka mereka disebut “abdi negara.” Kendati secara formal disebut “Pegawai Negeri” (sipil dan mili­ter).
          Selain itu dikenal sebutan “Pamong Praja,” yang diambil dari bahasa Sansekerta yang kurang lebih bermakna “pengasuh pemerin­tahan”. Sedang dalam ilmu-ilmu sosial dan politik, lazimnya disebut sebagai “kaum birokrat”. Dari istilah ini, tentu sudah tergambar, faktor apa yang menjadi landasan kekuatan serta kekuasaan politik yang mereka miliki.

Birokrat Sebagai Penguasa
          Sebagai unsur yang berfungsi menjalankan tugas pemerintahan, tentu peranan kaum birokrat sangat vital, dominan dan strategis. Bahkan kendati saat ini telah tampil para politisi sebagai penguasa baru, peranan para birokrat tetap strategis. Bahkan tak jarang para politisi mengadopsi kultur birokrat sehingga mengundang masalah baru, yakni: Politisasi Birokrasi Pemerintahan. Hal ini antara lain dari tingginya minat para politisi berebutjabatan di instansi pemer­intahan dan badan-badan usaha milik negara. Kenyataan menunjukkan kuatnya domina­si kaum birokrat di berbagai aspek kehidupan, hingga kini kuat dan menentukan, terutama dalam aspek ekonomi dan politik. Mereka dengan berlindung di seragam “abdi negara”, mampu menggerakkan berbagai lini dan mesin birokrasi pemerintahan, sehingga sangat strategis menjadi tonggak utama penyangga kekuasaan politik yang paling tangguh.

Posisi dan Peran Birokrat
          Saat ini para birokrat dipersatukan dalam satu wadah yakni “Korps Pegawai Republik Indonesia” (KORPRI). Adanya legitimasi politik kepada para “abdi negara” memberikan keunggulan tersendiri. Sebab, predikat dengan predikat itu selain cukup memberi kehormatan bagi mereka juga dapat dimanfaatkan untuk membenarkan berbagai tindakan dan perilaku mereka. Alasan “tugas negara” jadi tameng pelindung kepentingan pribadi dan atau kelompok.
          Status dan kedudukan birokrat, memang sangat ampuh untuk mengangkat harkat dan martabat seseorang. Demikian pula untuk mengendalikan masyarakat. Ini dapat menjelaskan mengapa jadi birokrat selalu jadi cita-cita orang Indonesia. Adalah kenyataan setiap ada penerimaan calon pegawai negeri, jumlah peminatnya sangat banyak. Bahkan, agar diterima sebagai pegawai negeri, kerap ada diantaranya rela menyogok hingga mencapai jutaan rupiah. Menilik standar gaji (resmi) seorang pegawai negeri, serta tingginya kompetisi memperebutkan status sebagai birokrat, tentu jelas yang mereka kejar bukan faktor gaji semata. Tapi paling utama, adalah berbagai kepentingan yang melekat padanya seperti, kehorma­tan, kekuasaan, fasilitas, dan sebagainya, yang secara tidak langsung pada gilirannya dimanfaatkan untuk mengem­balikan pengorbanan yang sudah diberikan pada saat masuk lingkungan pegawai negeri tadi.
          Kedudukan dan status sebagai birokrat, memang dianggap sangat istimewa dalam tradisi masyarakat Indonesia. Sebab, apapun yang terucap oleh para birokrat, seringkali dianggap sma dengan hukum yang mengikat setiap warga masyarakat. Kecenderungan seperti ini, telah melembaga, dan telah mapan. Akibatnya, etos kehidupan para birokrat tumbuh dengan karakteristik yang khas. Yakni, karateristik yang identik dengan gaya hidup “priyayi.”

Akar Budaya Birokrasi
          Persepsi masyarakat yang cenderung negatif terhadap perilaku dan kinerja kaum birokrat yang dintai dengan berbagai ungkapan ketidakpuasaan terhadap kualitas pelayanan publik, memang berhubungan erat etos kerja birokrat yang mengakar di masyarakat kita. Patut dipahami bahwa sebagai bangsa, sebenarnya Indonesia pada dasarnya, belum memiliki format budaya birokrasi yang berorientasi pada fungsi “pelayan masyarakat.” Filosofy serta sistem kerja birokrat Indonesia, tampak masih terpaut pada nilai-nilai lama, baik yang berakar pada tradisi priyayi era kerajaan patrimonial, maupun ambtenar yang dibangun penjajah. Meski dua akar budaya birokrasi ini memiliki perbedaan, namun esensi sama yakni melayani penguasa.
          Fungsi birokrasi sebagai pelayan atau abdi penguasa, dalam tradisi masyarakat Jawa, memang sangat kental. Ini antara lain tercermin pada nama “abdi dalem, yang berarti, abdi raja. Tentu sejalan dengan karakteristik sistem kekuasaan kerajaan yang bersifat “patrimonial”, dengan “raja atau sultan” sebagai pusat (inti) bagi semua aspek dan dinamika kehidupan masyara­kat, maka fungsi peran para abdi dalem tidak lebih seba­gai perpanjangan tangan raja untuk mengatur gerak dan ritme kehidupan masyarakat.
Mereka diberi kewenangan –oleh raja– sebagai peran­tara hubungan raja dengan rakyat. Fungsi sebagai perantara ini diimplementasikan secara efektif terutama dalam hal penarikan pajak (upeti), pengerahan tenaga kerja, dan untuk menghadapi musuh dari luar. Para abdi dalem tidak memperoleh upah (gaji), tapi mereka mendapat seba­gian dari upeti rakyat kepada raja.
          Dengan pola pemberian imbalan seperti ini, dan didorong oleh keinginan meniru gaya hidup sang raja, maka para abdi dalem membebani rakyat dengan pajak yang berlipat ganda. Hal ini pula yang menyebabkan, hubungan birokrat gaya abdi dalem lebih menonjolkan watak dasarnya yang eksploitatif terhadap rakyat. Untuk mengukuhkan kedudukan serta fungsi itu, juga demi melestarikan ketaatan rakyat, maka penguasa dan abdi dalem membuat berbagai bentuk ritualisasi. Mis­alnya, upacara-upacara, berbagai gelar, tata busana, simbol/lenca­na, dan sebagainya. Ritualisasi tersebut dimaksudkan, agar kebedaan posisi status dan fungsi tetap terjaga. Selain itu, melalui ritualisasi itu maka kesetiaan abdi dalem terhadap penguasa dapat terpelihara. Sebab kunci ritual terpusat di tangan raja.
Lazimnya, dalam penyelenggaraan acara ritual kerajaan selalu dikaitkan dengan mobilitas vertikal seorang abdi dalem. Bila mobilitas vertikal itu bergerak ke atas, (kenaikan jabatan, dan sebagainya), selalu dikaitkan pula dengan kenaikan tingkat kesejahteraannya.
          Dampaknya, secara umum orientasi para abdi dalem selalu ke atas, karena semakin dekat dengan raja, semakin tinggi pula tingkat kemakmuran, dan tentun­ya semakin aman dari kritikan rakyat. Karakter, gaya dan pola hidup birokrat model abdi dalem ini juga tetap terjaga ketika terjadi peralihan kekuasaan dari raja-raja ke tangan penguasa penjajah Barat. Hal ini, antara lain tercermin dari perilaku para “ambtenaar” yang sangat identik dengan perilaku “priyayi-abdi dalem”.
          Transformasi kekuasaan dari kaum ningrat ke tangan kaum kolonial memang melahirkan perubahan. Namun tidak mendasar. Sebab perubahan yang terjadi, hanya sebatas dalam bentuk simbolisasi ritual, yang mulai mengadopsi gaya Eropah, sementara karakter serta hubungan korela­tifnya dengan pihak penguasa tetap berjalan sebagaimana adanya.

Kultur Birokrat
          Akibat format hubungan birokratik negara, bergaya abdi dalem maka terbentuklah hubungan kerjasama penguasa-birokrat yang bersifat simbiosis-mutualistik. Artinya, kedua pihak saling membutuhkan dan saling melindungi. Pola hubungan seperti ini, masih tetap berlanjut hingga saat ini. Keterkaitan kerjasama yang erat tadi, tentu sudah dapat menjelaskan, mengapa kebocoran uang ne­gara, kasus kredit bermasalah, berbagai penyelewengan oleh kalangan birokrat tidak pernah diselesaikan secara terbuka, dan transparan di mata rakyat.
          Secara konseptual, penyelenggaraan kekuasaan negara saat ini telah diletakkan pada prinsip-prinsip demokrasi. Artinya, kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat. Dan kekuasaan rakyat itu diterjemahkan sebagai kekuasaan negara. Untuk menyesuaikan diri dengan peruba­han ini, keberadaan fungsi birokrat sebagai abdi dalem, diganti dengan predikat sebagai “abdi negara” atau “pegawai negeri.”
          Perubahan predikat ini, tentu selain mempertegas arah orientasi pengabdian kaum birokrat kepada pemegang kekuasaan (negara), dan juga untuk mengubah citra birok­rat yang identik sebagai instrumen kaum feodal (priyayi). Meski demikian, perubahan itu belum menyentuh aspek paling dasar. Yakni, perubahan perilaku dan gaya hidup. Bahkan terdapat kecenderungan, aktualitas fungsional semakin mengalami deviasi dan distorsi.
          Predikat sebagai “abdi negara” memang sangat mudah melahirkan penyimpangan dalam orientasi pengab­dian. Sebab lembaga negara, bersifat abstrak. Keabstrakan lembaga negara inilah yang mendorong para abdi negara (birokrat), dengan mudah meraih legitimasi sebagai kelompok pemegang kekuasaan negara.
          Dengan legitimasi itu para birokrat menuntut ketaatan rakyat (warga negara), yang dikemas dalam bentuk “pengabdian kepada negara”. Akibatnya, pada prakteknya yang terjadi adalah, pengabdian rakyat kepada birokrat sebagai abdi negara, walau secara hakiki, prinsip demokrasi mengakui unsur rakyat sebagai pemilik negara, dan sekaligus sebagai fokus pengabdian negara.
          Posisi peran kaum birokrat sebagai kelompok penguasa baru di dalam negara, kian lama semakin terasa kuat, seiring dengan menguatnya peranan negara di berbagai kehidupan masyarakat. Wajah birokrat seperti ini, tidak hanya dapat dijum­pai ditingkat elite, tapi juga pada strata bawahan. Dalam pengalaman nyata sudah sering ditemukan, betapa ketidak-berdayaan rakyat saat berurusan dengan para birokrat. Terma­suk dalam urusan yang sangat sepele, seperti, urusan KTP, ijin pesta, ijin usaha, dan lain sebagainya.


Demokratisasi Birokrasi
          Belakangan kemapanan status isti­mewa para birokrat mulai terusik Meningkatnya kesadaran masyarakat akan kesetaraan kedudukan, serta kesamaan hak dan kewajiban dalam hidup berbangsa, berne­gara dan bermasyarakat yang kiat menguat, pada gilirannya mendorong tumbuhnya sikap kritis masyarakat terhadap posisi peran kaum birokrat yang istimewa tersebut.
          Proses demokratisasi dalam tata nilai sosial saat ini mulai menggoyahkan dasar keistimewaan peran kaum priyayi masa kini. Dampaknya kaum birokrat selalu menjadi sasaran kritik, dituding sebagai penyebab ketidakberesan dalam pengelolaan negara. Demikian pula, perilaku kaum nirokrat selalu juga menjadi bahan gunjingan ketika ting­kat kebocoran uang negara, dan meluasnya praktek pungli –sebagai salah satu penyebab rendahnya upah pekerja—jadi sorotan masyarakat.
          Kritik serta penilaian negatif terha­dap perilaku kaum birokrat, dalam perkembangannya memang semakin berani diungkap terbuka. Dalam persepsi masyara­kat awam, etos kehidupan birokrat, seringkali dianggap identik dengan ketidak-beresan pelayanan, kerja santai, praktek kolusi, komersialisasi jabatan, serta arogansi kekuasaan. Munculnya, penilaian seperti ini, sebenarnya bukan kekeliruan masyarakat semata.
Tapi dalam banyak hal, juga itu terjadi karena sikap kaum birokrat itu sendiri, yang cenderung tidak mau memahami arus demokratisasi yang berlangsung saat ini. Kenyataan menunjukkan, bagian terbesar birokrat kita, dalam interaksi sosial masih berperilaku “priyayi”. Mereka belum memposisikan dirinya sebagai “pelayan ma­syarakat”. bahkan menempatkan dirinya sebagai bangsawan yang harus dilayani.
          Pada hal keberanian rakyat menuntut hak-hak pelayanan semakin meningkat. Akibatnya, yang terjadi bukan hanya sebatas kritik sebagai gerak reaksi masyarakat, tapi juga gugatan balik terhadap para birok­rat itu sendiri. Sebagaimana terlihat dari kenaikan kasus yang sedang ditangani oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Dampak Demokratisasi Birokrasi
          Meski kemapanan peran kaum birokrat bagi kehidupan masyarakat kian hari semakin berkembang meluas, namun secara sosio-kultural, posisi tersebut lama kelamaan akan mengalami pergeseran. Secara faktual, nuansa kehidupan birokrat di masa kini, semakin berbeda dengan sosok birokrat era abdi dalem atau priyayi.
          Semakin berkembangnya kesadaran akan demokrasi, serta ketergantungan sumber penghidupan birokrat pada gaji yang relatif minim, telah mengakibatkan kegagalan mereka untuk mempertahankan posisi sebagai lapisan sosial tersendiri yang eksklusif di masyarakat.
          Meningkatnya kemajuan di bidang pendidikan serta ekonomi, telah memberikan peluang bagi setiap kelompok masyarakat untuk dapat tampil sebagai lapisan elite dalam struktur sosial. Sementara arus demokratisasi telah mengubah pola rekrutmen di lingkungan birokrasi, yang lebih mengutamakan faktor keahlian/profesionalisme, ketimbang aspek hubungan darah atau silsilah gaya abdi dalem atau priyayi. Dampak dari perubahan tersebut adalah, status sosial sebagai birokrat selalu dipandang sebagai status yang berada pada kedudukan yang setara atau tidak berbeda dengan kelompok sosial lainnya.
          Kendati nuansa pergeseran semakin memasyarakat, namun tampaknya masih ada keengganan kaum birokrat untuk mele­paskan bayangan elititas kehidupan di masa silam. Berba­gai upaya untuk mengembalikan keberadaan status elite ala jaman feodal, memang masih kuat menggejala, meski secara halus diikemas dengan dalih “pengabdian kepada negara”.
          Indikator dari keinginan tampil beda dengan masyara­kat kebanyakan, antara lain tercermin dari banyaknya atribut ritual kebirokratan yang digunakan saat ini. Misalnya, berbagai upacara jabatan, peraturan penggunaan pakaian seragam (safari) dengan badge dan lencananya, upacara penyumpahan untuk kesetiaan kepada pemilik kekua­saan (negara), pengarahan dan sebagainya. Bentuk rituali­sasi tersebut, mungkin saja berbeda dengan masa abdi dalem dan priyayi. Namun esensi yang terkandung di da­lamnya, sebetulnya sama.
Politisi - Birokrat
          Meski banyak dimensi persamaan antara birokrat era “abdi dalem/priyayi” dengan birokrat era “abdi negara/pegawai negeri”, namun ada juga perbedaannya. Yang paling menonjol adalah keterlibatan serta besarnya peranan birokrat “abdi negara/pegawai negeri” di dalam kegiatan politik.
          Faktor keterlibatan dalam politik inilah yang sesung­guhnya menjadi daya pikat birokrat masa kini. Sebab kekuasaan yang ia miliki dapat mengantarkannya menjadi mesin politik yang efektif. Di masa Presiden Soekarni, kemenangan politik, Partai Nasional Indonesia (PNI) dan kemudian kemenangan Golongan Karta di era rezim Orde Baru dapat menjelaskan efektivitas jaringan birokrasi sebagai alat mobilisasi massa politik, untuk memenang­kan satu organisasi politik.
          Lazimnya, penguasaan jaringan birokrasi untuk kepen­tingan politik dilakukan dengan cara mendudukkan para politisi pada posisi strategis di dalam struktur birokra­si pemerintahan, atau dengan merekrut para pejabat birok­rat menjadi kader penggerak pada organisasi sosial poli­tik tertentu. Pola seperti ini, pada gilirannya telah menumbuhkan satu kelompok inti birokrasi. Yakni “politi­si-birokrat”, atau “birokrat-politisi”.
          Ekspansi peranan politisi birokrat dalam dunia poli­tik saat ini semakin luas. Hal ini, karena dalam praktek politik, mereka mampu menggunakan faktor kekuasaan birok­rasi, untuk menunjang pencapaian tujuan politik. Akibatn­ya, banyak mantan birokrat termasuk mantan tentara masuk ke partai politik sehingga peluang politisi non birokrat cenderung tergeser. Tentu terkecuali para politisi non birokrat yang memiliki basis kekuatan ekonomi dalam jumlah memadai sehingga dapat melakukan tawar-menawar dengan pihak politisi birok­rat. Meski dalam konteks normatif peluang politisi Parpol kini semakin terbuka. Peluang untuk meraih jabatan terse­but memang terbuka luas, namun dalam prakteknya selalu kandas di tengah jalan, karena tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh politisi birokrat.
          Keterlibatan para birokrat dalam politik, sesungguhn­ya hal yang wajar. Namun menjadi tidak wajar, jika didasarkan pada kepentingan politik suatu kelompok/golongan. Sebab jika itu terjadi pasti bakal merugikan rakyat dan negara. Menurut Moerdiono[2] pernah menyusun kontur model birokrasi atau abdi Negara Indonesia sebagai berikut :
  • Birokrasi Indonesia perlu dipahami sebagai bagian integral dari sistem penyelenggaraan negara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
  • Birokrasi Pemerintahan, kita maksudkan sebagai birokrasi sipil dibawah cabang eksekutif.
  • Birokrasi Pemerintahan merupakan bagian dari suprastruktur politik dan mempunyai hubungan fungsional dengan lembaga penyeleggara negara lainnya.
  • Birokrasi Indonesia bukan alat mati pemerintahan tapi diharapkan mempunyai kesadaran nasional yang tinggi, yang mampu secara kreatif melaksanakan tugas pemerintahan dan tugas pembangunan dengan efektif dan efisien.
  • Birokrasi Indonesia harus dibangun secara berencana.
Secara bertahap sebaiknya dikembangkan terminologi birokrasi yang sesuai dengan konteks filsafati dan idiologi kita.
Lebih lanjut praktisi administrasi negara yang adalah mantan Menteri Sekretaris Negara masa pemerintahan Pesiden Soeharto ini, merumuskan sebuah definisi kerja birokrasi pemerintahan seperti berikut :
“Birokrasi Pemerintahan adalah seluruh jajaran badan eksekutif sipil, yang dipimpin oleh pejabat pemerintah dibawah tingkat menteri, yang tugas pokoknya adalah menindaklanjuti keputusan politik yang telah diambil pemerintah[3]
          Dengan mencermati kontur model birokrasi Indonesia seperti tersebut diatas, kita dapat melihat bagaimana besar harapan yang ditumpukan pada birokrasi dalam penyelenggaraan tugas tugas pemerintahan dan tugas pembangunan. Harapan ini adalah hal yang logis, terlebih pembentukan birokrasi pada dasarnya dimaksudkan untuk melaksanakan prinsip prinsip organisasi secara lebih efisien. Meskipun demikian, dalam pelaksanaannya birokrasi malah membuat berbagai ketidakefisienan[4]. Birokrasi, memang dapat menjadi kekuatan yang baik untuk pertumbuhan (sebagai hasil kegiatan yang efisien) tetapi juga dapat menjadi alat yang menghambat pertumbuhan.
Di Barat pada umumnya, birokrasi lahir sebagai produk dari proses industrialisasi. Proses industrialisasi yang semakin meluas, menuntut masyarakatnya untuk menekankan nilai nilai individualitas, spesialisasi serta profesionalisme. Nilai nilai tadi telah melandasi perkembangan birokrasi untuk menjadi alat yang efisien dari masyarakat dalam mencapai tingkat kemajuan yang diinginkannya. Pertumbuhan dalam birokrasi relatif seimbang antara birokrasi publik dengan birokrasi perusahaan (private). Dengan demikian, gerak industrialisasi yang merupakan usaha swasembada masyarakat, akhirnya dapat berkembang nyaris tanpa intervensi
Di Indonesia, khususnya sejak era orde baru, birokrasi tumbuh sebagai instrumen untuk menggalakkan  industrialisasi dan modernisasi masyarakatnya. Hasil hasil pembangunan dalam bidang ekonomi, pertanian, kesehatan, Keluarga Berencana, perumahan dan lain lain, untuk sebagian besar adalah merupakan hasil karya birokrasi kita. Birokrasi Indonesia, dalam mengemban tugas pemerintahan dan tugas tugas pembangunan yang semakin kompleks, memadukan dua kekuatan besar yang saling menopang yakni intelektual dan militer. Militer dengan jiwa nasionalisme cukup berandil dalam membersihkan pengaruh pengaruh primordial, dan kaum intelektual, dengan konsep konsep pembangunannya yang rasional, telah memberikan bobot yang tinggi pada program program pembangunan nasional.
Hasil hasil karya birokrasi dalam pembangunan nasional dapat tercapai, karena terciptanya stabilitas yang mantap, yang dianggap sebagai sine qua non  kontinuitas pembangunan. Tingginya kehendak untuk mencapai akselerasi hasil hasil pembangunan, ternyata tidak diiringi oleh potensi swasta yang solid, sehingga menyebabkan perlunya intervensi pemerintah yang kemudian menyusup hampir kesemua sektor kehidupan masyarakat. Disamping itu, latar belakang sosial budaya masyarakat belum begitu kondusif dalam mendorong tumbuhnya budaya birokrasi yang bersih dan efisien.
Adapun nilai budaya yang telah berpengaruh terhadap birokrasi kita antara lain:[5]
  • Budaya formalisme yang melahirkan birokrasi yang mengutamakan simbol simbol dan seremonial seremonial ketimbang produktivitas dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
  • Budaya feodalisme dan paternalisme yang melahirkan birokrasi dengan orientasi status dan senioritas lebih menonjol, ketimbang profesionalisme dan kreativitas.
  • Jiwa kekeluargaan yang menghasilkan nepotisme dalam pemberian pelayanan publik.
  • Budaya upeti dan kaburnya demarkasi dinas-pribadi, yang pada gilirannya melahirkan korupsi dan penyalahgunaan harta kekayaan negara.

Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa ,budaya masyarakat lokal Indonesia telah mempengaruhi dan ikut mewarnai prilaku birokrasi kita. Disamping pengaruh budaya lokal itu, juga adanya sistem kekuasaan yang monolit dan lemahnya kontrol politik terhadap birokrasi telah memberikan iklim yang subur bagi berkembangnya penyimpangan penyimpangan dalam birokrasi. Timbulnya penyimpangan penyimpangan ini, akhirnya membuat citra negatif (red-tape) terhadap kinerja birokrasi pemerintah . Dipihak lain, gerak lajunya pembangunan (di Indonesia) memang telah membawa serta upaya upaya untuk merubah pola prilaku birokrasi kearah prosedur dan cara cara kerja yang lebih efisien.

Abdi Negara,Hanya Sebatas Wacana?
Pada masa orde reformasi dan orde sesudahnya (hingga saat ini), reformasi birokrasi telah banyak diwacanakan dan diagendakan,bahkan mungkin telah betul betul secara serius dilaksanakan. Beberapa  diantaranya adalah diberlakukannya PP No.8 tahun 2003 tentang restrukturisasi organisasi pemerintah daerah dengan konsep MSKF (Miskin Struktur Kaya fungsi).Tujuannya jelas jelas adalah untuk rasionalisasi birokrasi di lingkup pemerintahan daerah. Kemudian juga ada perubahan paradigma dari UU Nomor 5 tahun 1974 yang menggunakan the structural efficensy model menuju UU Nomor 22 tahun 1999 yang selanjutnya diperbaharui dengan UU Nomor 32 tahun 2004 yang lebih cenderung menggunakan the local democracy model[6]. Agenda reformasi tersebut tampaknya merupakan jawaban atas semakin meningkatnya tuntutan masyarakat serta banyak didorong oleh konsep konsep perubahan yang datang dari luar Indonesia seperti entrepreneurial bureaucracy, reinventing government, good governance dan sebagainya.
Good governance misalnya, adalah suatu mekanisme kerja,dimana aktivitas pemerintahan berorientasi pada terwujudnya keadilan social dimana pemerintah diharapkan mampu secara maksimal melaksanakan 3 fungsi dasarnya yakni service,development,empowerment. Adapun konsekuensi dari pelaksanaan good governance,setidaknya terlihat dari 3 hal berikut : pertama,pemerintah mengambil posisi sebagai fasilitator dan advocator kepentingan public, kedua, adanya perlindungan yang nyata terhadap “ruang dan wacana” public,serta yang ketiga, mengakui dan menghormati kemajemukan politik dalam rangka mendorong partisipasi dan mewujudkan desentralisasi[7]
Meskipun banyak agenda reformasi telah diintrodusir,dalam prakteknya perubahan tersebut cukup sulit dilakukan.Beberapa data membuktikan bahwa birokrasi public di Indonesia pada era reformasi belum sepenuhnya siap menghadapi perubahan.
Pertama,laporan dari the world competitivness yearbook tahun 1999 yang menyatakan bahwa birokrasi Indonesia berada pada kelompok Negara Negara yang memiliki indeks competitivness yang paling rendah diantara 100 negara yang diteliti [8]kedua,hasil penelitian PSKK UGM tahun 20000 di 3 provinsi yang menyimpulkan bahwa kinerja birokrasi dalam pelayanan public masih amat buruk disebabkan oleh kuatnya pengaruh paternalisme.[9]Ketiga, hasil kajian political and economic risk consultancy di 14 negara tahun 2001,menyatakan adanya indikasi kinerja birokrasi di Indonesia yang makin buruk dan korup[10]Sementara itu,dalam lokus Negara Negara berkembang, studi Dwight King[11] mengungkapkan beberapa sisi buram ciri birokrasi di negara berkembang seperti : tidak efisien, jumlah pegawai yang berlebihan, tidak modern atau ketinggalan jaman, seringkali menyalahgunakan wewenang, tidak ada perhatian atau mengabaikan daerah daerah miskin dan tidak tanggap atas keragaman kebutuhan dan kondisi daerah setempat.
Terkait dengan sulitnya melakukan perubahan dalam tubuh birokrasi,ada seorang pakar yang mengatakan bahwa sejumlah gejala autisme telah menjangkiti tubuh birokrasi.Symptomp-sumptomp yang menunjukkan autisme itu antara lain :[12]
  • Birokrasi cenderung mempertahankan kebiasaan yang sudah mapan,sehingga sangat sulit menerapkan perubahan
  • Birokrasi sulit menerima konsep konsep pembaharuan atau pelajaran, apalagi pelajaran itu datangnya dari pihak lain
  • Birokrasi pandai meniru-nirukan konsep konsep perubahan (reinventing government,wirausaha birokrasi, clean government & good governance,dll
Asik dengan kesibukan sendiri termasuk menyibukkan diri dengan mengidentifikasi konsep perubahan/reformasi,tetapi tidak ada hasil yang signifikan
Menanggapi lemahnya kinerja birokrasi dan dalam rangka mewujudkan good governance, setumpuk resep, pendekatan, strategi, model / paradigma reformasi telah diberikan oleh banyak pakar.Mulai dari penerapan merit system dalam rekcruitment aparatur, perbaikan system-struktur atau penataan kelembagaan, aturan organisasi,pedoman kerja,penerapan asas keadilan dan ketegasan dalam hal reward and punishment sampai kepada perubahan mind set aparatur dan cultural set –nya.
Bahkan,saat ini sedang digodok,rancangan undang undang baru yang juga dalam rangka mewujudkan good governance,yaitu UU tentang Administrasi Pemerintahan dan UU  Etika Penyelenggaraan Negara.Diharapkan rancangan UU yang sarat dengan semangat reformasi ini bisa dibahas di DPR RI tahun ini.Penulis kebetulan terlibat dalam Uji Materi RUU tersebut pada tanggal 20 september 2007,yang merupakan kegiatan ke 4,kegiatan mana sebelumnya telah dilakukan berturut turut mulai tanggal 14 dan 28 Mei 2007 di Jakarta khusus untuk pejabat pemerintahan tingkat pusat dan pada tanggal 18 September 2007 di Surabaya untuk pejabat pemerintah propinsi Jawa Timur,Peradilan TUN, kejaksaan, kepolisian, LSM dan Perguruan Tinggi.Sedangkan untuk RUU Etika penyelenggaraan Negara telah diadakan lokakarya pada 7 daerah provinsi yang mewakili wilayah Timur,Tengah dan Barat Indonesia.[13] Akankah payung hukum ini mampu mengemban misi reformasi?ataukah akan bernasib sama seperti UU sejenis yang telah ada?!

Penutup
Harapan kita semua,good governance segera terwujud di negeri tercinta ini sehingga masyarakat Indonesia menuai kesejahteraan lahir dan bathin seperti harapan para founding father kita. Maka disini, peran para penyelenggara pemerintahan Negara dan kaum birokrat kita merupakan  ujung tombak keberhasilannya dan kita semua rakyat Indonesia harus berperan aktif menopangnya.
          Jika dikiatkan dengan fenomena demokratisasi dan modernisasi, maka perubahan budaya birokrasi akan tak terelakkan. Ini tentu positif bagi bagi kehidupan bangsa dan negara. Menguatnya kesadaran politik rakyat, serta kesadaran umum tentang fungsi birokrat seba­gai pelayan masyarakat, pada akhirnya menuntut adanya sumber daya manusia birokrat yang profesional. Dampaknya pola rekrutmen sumber daya manusia birokrat, sistem promosi jabatan yang seringkali menguta­makan faktor kedekatan politik, menjadi tidak relevan. Demikian pula pemanfaatan jaringan birokrasi pemerintahan untuk kepentingan politik dari suatu kelompok tertentu jadi terbatas.
          Fenomena ini tentu patut dicermati sebab kebiasaan para birokrat ta yang mapan tidak hanya menyebabkan ketebengka­laian tugas pelayanan masyarakat, tapi dalam kondisi ter­tentu akan bisa menimbulkan reaksi balik dari masyarakat itu sendiri. Reaksi balik itu dalam skala pasif berupa ketidak-percayaan terhadap para abdi negara dan bila diabaikan bisa berubah menjadi pembangkangan atau perlawanan terhadap kebijakan birokra­si yang dinilai sudah jauh menyimpang dari fungsi sebagai pelayan masyarakat.Meskipun demikian, mengubah perilaku birokrat kedalam format ideal, jelas tidak mudah. Sebab akar tradisi sebagai bagian dari penguasa yang diwariskan oleh etos abdi dalem/priyayi sudah terlanjur melekat sebagai etos kehidupan para birokrat.
          Pendidikan yang sistimatis kearah perubahan kultural, mungkin dapat dijadikan sebagai sarana menuju perbaikan. Namun, siapa yang harus memulai itu semua. Sebab sangat mustahil, bila mengharapkan datangnya perubahan dari kaum birokrat sendiri, tanpa ada desakan politik dari lapisan rakyat.






Referensi
Bryant, Coralie & White, Louis G., Manajemen Pembangunan Untuk Negara Berkembang, Rusyanto L.(Peny) LP3ES, Jakarta, 1987.
Cullen,Ronald B & Donald P.ushman (2000), Transitions to competitive government: speed,consensus and performance,Albany,New York: State university of New York Press.
Dwiyanto,Agus dkk., Teladan dan Pantangan dalam Penyelenggaraan Pemerintahan dan Otonomi Daerah,Galang Printika,Yogyakarta,2003
Graham, Cole B., Jr., & Hays S.W., Managing The Public Organization, Washington DC : CQ Press, 1986.
Jackson, Karl D., The Implication of Structure and Culture in Indonesia on Jackson, Karl D., & Pye, Lucian W., eds., Political Power and Communication in Indonesia, 1978.
King, Dwight Y., Pengawasan dan Birokrasi di Negara Berkembang, dalam Prisma, LP3ES, 1989.
Kompas, 22 Juni 2001
Luthans, Fred, Organization Behaviour, Mc-Graw Hill Book, New York 1973.
Mustopadidjaja, AR.,Paradigma Pembangunan Administrasi Negara dan Manajemen Pembangunan, Pusat Pendidikan dan Latihan Pegawai Negeri, Jakarta.
Moerdiono, Mencari Model Birokrasi Indonesia, dalam Birokrasi dan Administrasi Pembangunan, Nirwandar S., & Tedjo, I., (peny), Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1992
Muhaimin, Yahya, Birokrasi Seharusnya Apolitis , dalam Prisma, LP3ES, 1989
---------------, Beberapa Segi Birokrasi di Indonesia, dalam Beberapa Aspek Pembangunan Orde Baru  ; Esei Esei dari Fisipol Bulaksumur, Abar, A. Zaini (peny), Ramadhani, Solo, 1990
Nurhardjatmo, dkk., Efektivitas Kebijaksanaan Pembangunan, Fakultas Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta.
Suganda, Dann, Beberapa Aspek Kebijakan Birokrasi, Media Widya Mandala, Yogyakarta, 1991.
Tim Fisipol Unwar, Orasi ilmiah “Mewujudkan Birokrasi Yang mengedepankan etika pelayanan Publik’,disampaikan pada Dies Natalis XXII dan wisuda Sarjana XXXIV Universitas Warmadewa,23 September 2006
Toha, Miftah, Perspektif Prilaku Birokrasi, Rajawali Pers, Jakarta, 1987.
Tjokrowinoto, Moelyarto, Sosok Birokrasi Indonesia Dalam Era Tinggal Landas, Makalah Untuk Pertemuan Mahasiswa Administrasi Indonesia, Kaliurang, Yogyakarta, 1989.
Widodo,R.Triputro, Autisme Birokrasi,Jurnas Sarathi Vol 12 No.2 Mei 2005
Yudhiantara,I Made, Memahami Performance Biro Rasional Kita dari perspektif model,Jurnal Sarathi No.08 Th IV Juli 1997
---------------,Pengawasan dan Pemberdayaan Frontliner Birokrasi Pembangunan Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik,Jurnal sarathi No.03 Th II Januari 1995
---------------Reformasi Birokrasi pelayanan Umum (Pokok Pokok Pikiran), Jurnal Sarathi No.10 Th V Agustus 1998




[1] Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Sejarah Program Pasca Sarjana(PPs) Universitas Andalas Padang Sumatera Barat.
[2]Moerdiono, Mencari Model Birokrasi Indonesia, dalam Birokrasi dan Administrasi Pembangunan, Nirwandar S., & Tedjo, I., (peny), Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1992
[3] Ibid;
[4]Nurhardjatmo, dkk., Efektivitas Kebijaksanaan Pembangunan, Fakultas Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta.
[5] Muhaimin, Yahya, Birokrasi Seharusnya Apolitis , dalam Prisma, LP3ES, 1989
[6] Tim Fisipol Unwar, Orasi ilmiah “Mewujudkan Birokrasi Yang mengedepankan etika pelayanan Publik’,disampaikan pada Dies Natalis XXII dan wisuda Sarjana XXXIV Universitas Warmadewa,23 September 2006
[7] Ibid;
[8]Cullen,Ronald B & Donald P.ushman (2000), Transitions to competitive government: speed,consensus and performance,Albany,New York: State university of New York Press.
[9]Dwiyanto,Agus dkk., Teladan dan Pantangan dalam Penyelenggaraan Pemerintahan dan Otonomi Daerah,Galang Printika,Yogyakarta,2003
[10]Kompas, 22 Juni 2001
[11] King, Dwight Y., Pengawasan dan Birokrasi di Negara Berkembang, dalam Prisma, LP3ES, 1989.
[12] Widodo,R.Triputro, Autisme Birokrasi,Jurnas Sarathi Vol 12 No.2 Mei 2005
[13]Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara,sambutan pada acara Uji Materi RUU Administrasi Pemerintahan dan RUU Etika Penyelenggara Negara Tingkat Provinsi Bali,Denpasar 20 September 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar