Minggu, 26 Juni 2011

Mengais Rezeki Di Tumpukan Sampah

Sekelompok Pemulung Mengais Sampah di Salah Satu TPS di Kota Pekanbaru
Laporan Andre Vetronius

    Ketika di suatu tempat orang bekerja di kursi empuk,diterpa sejuknya AC,di dalam gedung eksklusif dan dengan gaji menggiurkan,maka ada di suatu tempat lain sekelompok orang harus berpeluh keringat di lokasi yang berbau busuk penuh lalat,di bawah teriknya sengatan matahari atau harus basah bercampur kotoran dan lumpur hanya demi mencari rezeki yang tak seberapa serta belum tentu cukup untuk kebutuhan hidup.Inilah mungkin kalimat yang pantas untuk menggambarkan betapa keras,getir dan besarnya perjuangan seorang pemulung dalam mengais rezeki diantara tumpukan dan onggokan sampah.

    Saat orang lain membuang barang yang dianggap sudah tak berguna lagi,maka buangan tersebut akan menjadi begitu bermanfaat dan berkah sebagai sumber rezeki bagi seorang pemulung. Mencermati liku-liku aktifitas keseharian para pemulung di lokasi TPS (Tempat Pembuangan Sampah) yang berada di Kecamatan Sukajadi Pekanbaru ,akan banyak hal menarik serta dapat memberikan filosofi hidup bagi kita. Di lokasi pembuangan limbah sampah yang berdekatan dengan kompleks perumahan yang megah tersebut,pada siang hari sekitar pukul 10.00 WIB hingga pukul 17.30 sore bisa terlihat puluhan para pemulung mengais dan membongkar sampah buangan untuk mencari barang-barang bekas yang dapat dijual kembali.

    Walau hasil penjualan barang bekas tersebut hanya cukup buat makan malah kadang tak sesuai harapan,namun mereka tetap merasa bersyukur dan terus bekerja berpeluh keringat.Tak ada keraguan sedikit pun membersihkan kotoran berupa air berbau yang melekat pada plastic,botol,kertas maupun besi agar dapat terjual dengan harga maksimal.Bila barang yang dijual dalam keadaan basah maka harga pun sedikit miring dibanding terjual dengan keadaan kering.


    Contohnya,1 kilogram tas plastic kresek kering laku dengan harga antara Rp.1100 s/d Rp.1200,sedangkan dalam kondisi basah hanya dihargai penampung senilai Rp.700 hingga Rp.800/kilogram. Sementara untuk kertas Koran laku dijual Rp.400/kilogram,botol plastic air mineral dapat terjual Rp.4000/kilogram. Kendala yang paling berpengaruh terhadap mereka adalah bila hujan turun,memaksa para pemulung untuk bekerja ekstra keras guna mengeringkan barang-barang bekas yang diperoleh. Perlu waktu 4 atau 5 hari untuk membersihkan serta mengeringkan benda yang basah.

    Seorang pemulung bernama Murni di TPS Jalan Dahlia SukaJadi menuturkan,biarpun harus berteman dengan tumpukan sampah tapi saya bersyukur pada pekerjaan yang saya geluti ini.Tanpa mengeluarkan modal sedikitpun namun jerih payah ini menghasilkan rezeki untuk membantu suami menutupi biaya kebutuhan rumah. Mungkin segelintir orang menganggap profesi pemulung ini pekerjaan yang hina,tapi bagi kami sebatas halal dan tidak merugikan orang lain. Kami tetap yakin ini sangat lebih baik dari pekerjaan pelacur.

    Wanita berpakaian lusuh ini juga mengungkapkan,anak-anaknya sempat bertanya kenapa ia harus menjadi pemulung?.Tapi saya memberikan penjelasan kenapa dan mengapa pada mereka dan akhirnya anak-anak mau memahami. Suami saya yang berprofesi sebagai supir truk juga memberikan nasehat agar saya jangan terlalu memaksakan diri dalam bekerja mengais rupiah di onggokan sampah. Saya tetap memenuhi kewajiban sebagai istri,seb elum siap mencuci dan memasak di rumah,maka saya belum datang ke lokasi pembuangan sampah ini. Biasanya sekitar pukul 10.00 WIB pagi hingga pukul 17.30 WIB sore,saya mengais sampah dan membersihkan barang bekas yang didapat. Karena truk sampah milik Pemko masuk membuang sampah 2 kali dalam sehari yakni pada pagi serta sore hari. Omzet yang didapat tiap bulannya rata-rata mencapai Rp.400 ribu hingga Rp.450 ribu.

    Ia hanya selalu memendam tanya,kenapa pihak Pemerintah tak pernah memberikan perhatian pada para pemulung.Tak ada program apa pun yang dilaksanakan Pemerintah berkaitan dengan mereka. Misalnya memberikan pelayanan pemeriksaan kesehatan atau membantu membangun tenda-tenda kecil di lokasi TPS .Karena,biar bagaimana pun pekerjaan pemulung kan ikut membantu pemerintah mengatasi sampah-sampah agar tidak tertimbun dan menumpuk di lokasi pembuangan. Apakah pemulung tidak layak mendapat perhatian dari Pemerintah? gumam Murni polos di bawah gubuk reotnya.

    Sementara seorang bocah perempuan berusia 10 tahun bernama Nadia tampak sangat kumal dengan memakai “baju dinas” versi pemulung. Kulit terlihat hitam legam,rambut acak-acakan dan kaki,tangan serta kuku kotor bercamput tanah. Gadis kecil ini mengutarakan,ia terpaksa terjun sebagai pemulung karena ingin membantu orang tuanya membiayai sekolah.”Daripada banyak bermain dan duduk, kan lebih baik kerja kayak gini bisa dapat duit”ujarnya.

    "Malah tanpa ditanya,Murni yang sudah jadi pemulung kurang lebih 2 tahun ini menyampaikan kenapa dia, anak kurang mampu tidak mendapatkan bantuan apa pun di sekolahnya,katanya, kan ada program bantuan pemerintah bidang pendidikan bagi anak miskin,". Di sekolah saya,malah teman-teman lain yang dapat bantuan.

    Ada perasaan terenyuh menyaksikan sekelompok pemulung di bawah teriknya matahari mengais-ngais tumpukan diselingi suara lalat yang mungkin ribuan jumlahnya.Tapi ada juga perasaan yang mengatakan bahwa para pemulung ini berjasa membantu Pemerintah menanggulangi problem agar sampah tak menggunung di lokasi pembuangan.

    Namun siapa yang mau peduli soal jasa pemulung ini,karena memang di republik ini hanya orang berbaju dinas resmilah yang biasa mendapat tanda jasa/penghargaan karena tugas pengabdiannya. Inilah sekelumit cerita pemulung yang mengais rezeki di pembuangan sampah.Tampak banyak duka dari sukanya,tampak banyak kotor dari bersihnya,tapi yang pasti di hadapan Tuhan mereka lebih mulia dari pada koruptor, mucikari,WTS atau pengedar narkoba.Andre Vetronius***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar