Sabtu, 11 Juni 2011

Anjal Yang Hilang Kembalilah Pulang...

Laporan : Andre Vetronius

Kemiskinan membuat mereka menjadi anak-anak jalanan, menjalani kehidupan keras penuh resiko. Mereka putus sekolah karena didera keadaan. Akan tetapi, kemiskinan pulalah yang menyadarkan mereka mau kembali belajar, mewujudkan cita-cita agar bisa mandiri dan menjadi makhluk Allah yang berarti.

    Anak jalanan tidak perlu dirazia, karena ia bukan sumber masalah. Keberadaan anak jalanan di setiap persimpangan jalan adalah fenomena, gejala tentang gambaran nyata kondisi kemiskinan suatu kota dan gambaran kemiskinan bangsa kita. Penanganannya anak jalanan harus dilakukan secara profesional, jika tidak berpotensi lost generation.

    Lukman, seorang remaja yang di telinganya dipenuhi kerabu alias subang bahkan salah satu telinganya sudah melebar karena lubang subangnya begitu besar merupakan salah satunya. ‘’Saya memilih jalan ini karena merasa nyaman bergaul dengan mereka. Tidak ada jarak di antara kami, tidak hanya makan dengan piring yang sama tapi juga minum dengan gelas yang sama,’’ sebut Lukman.


    Kiranya dia meninggalkan rumah karena di rumahnya dia merasa kesepian, orang tuanya sibuk bekerja, entah untuk siapa. Di luar bersama teman-temannya dia merasa nyaman dan terlindungi, meski sesekali harus dikejar oleh pihak keamanan dari Satpol PP. Karena aktivitas ini, Lukman sempat berhenti sekolah, tapi akhirnya sadar dan memutuskan kembali ke bangku sekolah namun pergaulan dengan teman-temannya sesama anak punk tetap berlanjut. ‘’Saya ingin mencari jati diri, hal itu pula yang menjadi penyebab saya seperti ini, bergaul dengan anak jalanan. Dan saya menemukan yang saya cari, yaitu persaudaraan,’’ ucapnya. 

    Menurut Santi, Staf Pemberdayaan Sosial, Provinsi Riau menjelaskan ‘’Itu yang menjadi persolan. Isu anak bukan menjadi isu yang seksi bagi pemangku kepentingan. Isu anak dianggap sebagai yang kesekianlah. Padahal, anak itu penting karena anak hari ini perwujudan orang dewasa di masa depan.
   
    Baik buruknya situasi anak hari ini menggambarkan baik-buruknya situasi negara kita di masa depan,’’ Anak Jalanan dan Gelandangan sering berada di Simpang Mal Ska (Kecamatan Tampan), Simpang Gramedia (Kecamatan Pekanbaru Kota), Simpang Jalan Harapan Raya-Sudirman (Kecamatan Bukit Raya), Simpang Pasar Pagi Arengka (Kecamatan Marpoyan Damai), Ramayana di sekitar Pasar Kodim (Pekanbaru Kota) dan Simpang Jl Riau-Jl Yos Sudarso (Kecamatan Senapelan).

    ‘’Saya lihat jumlahnya tidak statis. Yang tetap itu perubahannya itu karena berubah terus. Memang kecendrungan itu musim-musimam, seperti saat liburan. Data yang kita munculkan itu pemain yang terus-menerus mereka di situ,’’ ungkapnya.

    Dari segi pekerjaan, sebanyak 61 orang atau 48 persen menjual koran, mengamen 23 orang atau 18 persen, pengemis adalah 9 orang (7 persen). Di samping itu ada juga anak jalanan yang melakukan dua atau tiga jenis pekerjaan misalnya ngamen, jual koran dan nyapu mobil (15 persen) dan jualan koran dan menyapu mobil sebanyak 4 orang (3 persen). Ada juga yang menjadi kenek oplet walaupun jumlahnya sangat sedikit (1 orang).

    Adapun penghasilan yang didapat anak-anak tersebut 97 orang (76%) kurang dari Rp20.000 dalam satu hari, 25 orang atau 20 persen menjawab antara Rp21.000 sampai Rp50.000 dan 4 orang atau 3 persen mengatakan bahwa dalam satu hari mereka bisa mendapatkan uang sebesar lebih dari Rp51.000. Menariknya dalam hasil penelitina tersebut mengungkapkan uang hasil jerih payah mereka tersebut tidak ada yang dibelanjakan untuk hal yang negatif.

    Ada 23 orang anak yang menabung pendapatannya, 18 orang untuk orang tuanya dan 15 orang untuk sekolah. Sementara itu berdasarkan inisiatif, 25 orang anak melakukan kerja di jalan atas inisiatif sendiri dan 16 orang disuruh baik oleh teman, orang tua maupun keluarga. Namun sebagian besar anak tidak mau menjawab apakah atas inisiatif sendiri atau disuruh.

    Namun, lanjut Santi, 64 anak yang tidak bisa memberikan jawaban berapa besar pendapatan orang tua mereka. Tetapi 51 anak bisa menjawab dengan persentase berpendapatan kurang dari Rp500.000 per bulan yang paling banyak yakni 31 orang. Sedangkan yang berpendapatan Rp501.000-Rp1.000.000 sebanyak 11 orang dan berpenghasilan Rp1.001.000-Rp1.500.000 sebanyak 4 orang.

    Anak yang rentan menjadi anak jalanan. Ciri-cirinya hidup 4-6 jam di jalan. Umumnya masih sekolah dan melakukan aktivitas di jalanan saat usai sekolah atau sebelum sekolah. Mereka masih tinggal bersama orang tua dan umurnya di bawah 14 tahun. Keempat, anak jalanan yang kehidupannya sudah di jalan seharian, yaitu delapan hingga 24 jam.Upaya Pemko Pekanbaru menangani gelandangan dan pengemis (gepeng), agar tidak merusak pemandangan kota, tampaknya belum berhasil. Sebab setiap hari gepeng selalu terlihat ramai di sudut-sudut jalan lampu merah (traffict light) seperti di Jalan Tuanku Tambusai Simpang Mal Ska, simpang Jalan Sudirman-Harapan Raya, simpang Pasar Pagi Arengka dan lainnya.

Tanggapan

    Sementara itu Kakan Satpol PP Kota Pekanbaru, Erwad Husnan  mengatakan penertiban Gepeng/Anjal dilakukan pada bulan Juni ini berkaitan dengan pembukaan festival bola anak "Danone Cup". masalah pengurunagan yang dilakukan oleh pihak satpol PP untuk memberikan efek jera terhadap gepeng tersebut. "kami dari satpol PP sendiri yang bekerja sama dengan Dinas Sosial, akan menangani gepeng ini serta melakukan pembinaan,"ujarnya.
   
    Sedangkan tanggapan dari masyarakat sangat jauh berbeda sekali dengan yang di utarakan oleh pihak satpol PP tersebut. Erna, salah satu warga jalan Paus mengatakan Gepeng/Anjal yang ditangkap oleh Satpol PP biasanya di lepas lagi dan mereka pun kembali ke jalanan. Bukan hanya itu saja penangkapan Gepeng yang ditandai oleh aksi kejar-kejaran antara Gepeng dengan pihak Satpol PP juga akan memakan korban.
   
    Dalam pengakuannya, ia pernah nampak saat Satpol PP melakukan penangkapan dengan aksi kejar-kejaran antara kedua pihak tersebut. Aksi tersebut hampir memakan korban, seketika saat salah seorang gepeng berlari di jalan raya untuk menghindari kejaran Satpol PP hampir saja, anjal tersebut tertabrak oleh mobil yang melintas, persis kejadiaannya di persimpangan Jalan Mall SKA.
   
    "Tadi saja ada seorang nenek tua yang terjaring oleh Satpol PP di jalan Sudirman tepatnya di depan Fly Over ini,"tambahnya sambil menunjukan lokasi kejadian.

    Menurutnya tindakan yang dilakukan pemerintah Kota Pekanbaru, kalau hanya menangkap dan tanpa memberikan pembinaan serta keterampilan kepada mereka itu sama saja dengan bohong. sepertinya Pemko sendiri setengah-setengah dalam mengatasi Gepeng di Kota ini."Di tangkap dan dilepaskan lagi oleh Pemko, tanpa melakukan pembinaan serta menyediakan lapangan pekerjaan yang layak buat mereka. Hal tersebut sama saja dengan bohong,"ujar Ibu rumah tangga ini dengan nada yang kesal.

    Menanggapi permasalahan tersebut Donny Yusrizon, pemerhati sosial Pekanbaru, saat di hubungi Haluan Riau, kemarin mengatakan pemerintah harus segera berupaya mendirikan panti rehabilitasi, seperti halnya rehabilitasi orang kecanduan narkoba. Panti ini perlu bertujuan untuk menertibkan kota ini dari berkeliarannya gepeng atau orang gila. Sehingga tidak mengganggu kenyamanan dan keindahan kota.

    "Untuk korban seperti pencandu narkoba, atau kejahatan yang bersifat disengaja saja didirikan panti rehabilitasi. Akan tetapi untuk gepeng maupun orang gila yang disebabkan kebanyakan karena pengaruh ekonomi, atau tuntutan hidup yang berat sepertinya pemerintah masih enggan untuk mendirikan panti rehabilitasi," ujarnya.

    Ia menjelaskan, hal ini seolah tidak ada semacam keadilan dari pemerintah. Kasarnya penjahat diberi makan dua atau tiga kali sehari dengan rehabilitasi, namun gepeng karena tuntutan ekonomi atau orang gila yang mungkin tidak bersalah dan hanya tidak kuat menanggung beban hidup jauh dari perhatian pemerintah. "Bila seperti itu, kurang adil kesannya,"terangnya.

    Dijelaskannya, untuk penanganan, pemerintah seharusnya melakukan identifikasi terhadap masuknya orang-orang yang tidak mampu ke suatu daerah. Katakanlah masyarakat yang daerahnya terisolir, seperti masyarakat pendatang yang ekomominya lemah. Sehingga mencoba berusaha untuk mencari kehidupan. Di sisi lain, apabila keberadaan ini tidak terpantau oleh pemerintah, akan banyak nanti bermunculan orang-orang yang dikatakan gepeng atau orang gila.
   
    Singkatnya orang yang mengalami tuntutan kebutuhan hidup di perkotaan dan berakhir kepada minta-minta bahkan bisa depresi. Untuk itu, langkah yang tepat, sudah saatnya pemerintah mendirikan panti rehabilitasi khusus. Selain itu, pemerintah harus melakukan pendataan secara cermat kepada masyarakat pendatang yang ingin berjuang hidup di kota Bertuah ini.

    "Persaingan hidup yang keras. Jika seseorang tidak kuat dengan beban tersebut, maka ujungnya mereka bisa menjadi gepeng atau orang gila," terang pemerhati sosial ini.(ANDRE VETRONIUS).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar