Cendekiawan Budaya Birokrat Indonesia –dari Abdi Dalem
hingga Abdi Negara
Oleh:
Andre Vetronius[1]
Pendahuluan
Cendekiawan atau intelektual ialah orang yang menggunakan
kecerdasannya untuk bekerja, belajar,
membayangkan, menggagas, atau menyoal
dan menjawab persoalan tentang brbagai gagasan. Kata cendekiawan berasal
dari Chanakya seorang politikus dalam pemerintahan Chandragupta dari kekaisaran
Maurya. Tak bisa dipungkiri juga cendekiawan yang akan
menjadi abdi negara dan masyarakat.
Setiap warga negara akan selalu berhubungan dengan aktivitas
Birokrasi Pemerintahan. Bahkan ketika seseorang masih berada dalam kandungan ia
sudah mulai tergantung dengan pelayanan birokrasi. Apakah untuk keperluan pemeriksaan
kesehatan (di RS atau Puskesmas ) atau setelah lahir dan harus mendapatkan
“sertifikat sebagai warga dunia” berupa akta kelahiran. Ketergantungan dengan birokrasi itu terus berlanjut, seiring
dengan bertambahnya usia seseorang atau sejalan dengan ragam aktivitas yang
dilakukan ditengah masyarakat. Sementara itu, jenis pelayanan umum yang
diselenggarakan birokrasipun sangat kompleks
dan bahkan memasuki hampir setiap aspek kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Intervensi birokrasi yang demikian ini, sah-sah saja
adanya, karena justru untuk menyelenggarakan fungsi itulah birokrasi dibentuk.
Merupakan hal yang logis, jika kemudian
birokrat atau aparatur publik itu dijuluki
Abdi Negara, karena pada pundaknya tugas-tugas kemasyarakatan,
pemerintahan dan pembangunan diselenggarakan atas nama “organisasi politik
super besar” yang disebut “negara”. Namun penting diingat, legitimasi yang
diterima para abdi negara itu bersumber dari kepercayaan rakyat yang berdaulat.
Artinya, seorang abdi negara adalah
seseorang yang mengemban amanat rakyat untuk mengayomi kepentingan kepentingan
mereka (rakyat). Jadi, jika dikaitkan dengan sumber legitimasi ini, maka
seseorang aparatur negara/ publik (pegawai negeri, birokrat atau abdi negara)
itu, sesungguhnya adalah seorang abdi masyarakat. Ini berarti, bahwa tugas
aparatur publik adalah melayani
masyarakatnya (public service).
Kompleksnya pelayanan umum yang diberikan birokrasi, semakin
mengabsahkan jaringan hirarkinya yang terbentang luas dari pusat hingga ke
pelosok desa. Mengemban amanat rakyat, mengayomi dan memberikan pelayanan
kepada mayarakat, mengadministrasikan tugas tugas pemerintahan dan pembangunan,
adalah sebagian besar dari tanggung jawab yang diembannya. Dengan berbekal kode
etik “Sapta Prasetya”, iapun dituntut berprilaku bersih sehingga wibawa dan
kemuliaan memancar dari korpnya
Sudah
sewajarnyalah rakyat berterima kasih kepada para “abdi” nya itu dan kemudian
menaruh hormat terhadap lembaga atau korpnya. Tidak ada alasan bagi rakyat
untuk tidak respek terhadap birokrasi. Namun ironisnya, persepsi masyarakat
selama ini terhadap birokrasi tidaklah demikian adanya. Kondisi faktual
dimasyarakat menunjukkan, bahwa berhubungan dengan birokrasi berarti berhadapan
dengan kekuasaan perijinan yang menjelimet, penghormatan dari meja ke meja,
atau bahkan formalisme yang eksesif.. Yang lebih parah lagi,acapkali rakyat
diposisikan sebagai pembeli jasa yang harus siap membeli tiket layanan
alias amplop pelican,sekedar untuk
mendapatkan layanan birokrasi. Hal ini disebabkan karena prosedur pelayanan
yang semestinya memudahkan masyarakat sering ditunggangi kepentingan pribadi
birokrat dan tidak jarang dijadikan komoditi layak jual.
Fenomena ini berlanjut mentradisi dalam korp birokrasi, meskipun
sesungguhnya instrumen untuk menyikapinya sudah tersedia (misalnya, sistem
pengawasan). Masyarakat pengguna jasa menganggap produk layanan birokrasi itu
bukan lagi haknya yang dengan mudah dapat diperoleh (hanya dengan mengganti
biaya bahan baku produk tersebut), melainkan telah memandang birokrasi itu
sesuatu yang harus diakses dengan
koneksi tertentu mirip mekanisme hukum pasar. Dengan demikian ketentuan
bahwa birokrasi memiliki kewajiban untuk melayani masyarakat menjadi berbalik,
karena masyarakatlah yang harus “pintar” melayani kemauan birokrasi tersebut.
Berangkat dari sinilah, fenomena kolusi, pungli dan penguasa perijinan
dipersepsikan oleh masyarakat identik dengan birokrasi itu sendiri.
“ Jargon abdi
masyarakat hanyalah tinggal kenangan belaka atau sekedar slogan yang indah ?”.
Menyikapi keadaan yang demikian itu, wajar jika
kemudian timbul pertanyaan seputar peran birokrasi sebagai lembaga
penyelenggara pelayanan masyarakat. “Benarkah birokrat itu abdi masyarakat?”
Gejala phatologis birokrasi seperti
yang telah dipaparkan diatas itu, menjadi semakin kronis ketika tumor tumor
birokrasi lainnya, turut menghias kinerja birokrasi seperti : adanya
proliferasi dan struktur ganda, instransparansi pertanggungjawaban (yang
menyulut lahirnya manipulasi dan korupsi ), aplikasi patronase dalam rekrutmen
pegawai (yang menyuburkan nepotisme dan suap), serta praktik mal-administrasi
maupun mis-manajemen lainnya.
Meskipun kondisi yang diungkapkan itu
belum sepenuhnya dapat digeneralisir, apapun alasannya, fenomena yang demikian
itu tentu tidak dapat dibiarkan berlarut. Sebab, jika fenomena phatologis itu
dibiarkan menahun, maka tidaklah mustahil “krisis kepercayaan” masyarakat
terhadap birokrasi suatu saat akan berubah menjadi destruktif. Dibeberapa
tempat, ketakutan kaum birokrat elit untuk menggunakan kendaraan “plat
merahnya” karena khawatir akan menjadi sasaran amuk massa, adalah indikator
bahwa posisi rakyat telah berseberangan dengan birokrasi.
Penting diingat bahwa, kita tidak apriori dengan prestasi pembangunan
yang berhasil dicapai selama ini, yang sebagian besar merupakan andil birokrasi
dalam totalitas kinerjanya.Akan tetapi,
prestasi birokrasi dalam pembangunan itu akan tenggelam begitu saja jika
penyakit birokrasi yang diderita selama ini, betapapun ringannya, dibiarkan
terus tanpa solusi “penyembuhan”.
Secara umum
terdapat tiga pengertian modren untuk istilah cendekiawan yaitu;
1.
Mereka
yang amat terlibat dalam idea-idea dan buku-buku
2.
Mereka
yang mempunyai keahlian dalam budaya dan seni yang memberikan mereka kewibawaan
kebudayaan dan yang kemudian mempergunakan kewibawaan itu untuk mendiskusikan
perkara-perkara lain di khalayak ramai. Golongan ini dipanggil sebagai
intelektual budaya.
3.
Dari
segi Marxisme mereka tergolong dalam kelas dosen, guru, pengacara, wartawan dan
sebagainya.
Oleh karena itu cendekiawan sering dikaitkan dengan mereka yang
lulusan universitas. Namun,Sharif Shaary, dramawan Malaysia terkenal mengatakan
bahwa hakikatnya tidak semudah itu ia berkata:
“Belajar di Universitas buakan jaminan seseorang dapat
menjadi cendekiawan. Seorang cendekiawan adalah pemikir yang senantiasa
berpikir dan mengembangkan (serta) menyumbangkan gagasannya untuk kesejahteraan masyarakat. Ia juga adalah seorang
yang mempergunakan ilmu dan ketajaman pikirannya untuk mengkaj, menganalisis,
merumuskan segala perkara dalam kehidupan manusia, terutama masyarakat dimana
ia hadir khususnya dan diperingkat global umum untuk mencari kebenaran dan
menegakkan kebenaran itu. Lebih dari itu, seorang intelektual juga seseorang
yang mengenali kebenaran dan berani memperjuangkan kebenaran itu, meskipun
menghadapi tekanan dan ancama, terutama sekali kebenaran, kemajuan, kebebasan
untuk rakyat.
Tiga Tahap Perkembangan Cendekiawan atau Intelektual
Menurut August Comte ada tiga tahap perkembangan cendekiawan atau intelektual
yang masing-masing merupakan perkembangan dari tahap sebelumnya:
1.
Tahap
teologis; tingkat pemikiran manusia bahwa semua benda didunia mempunyai jiwa
dan itu disebabkan oleh suatu kekuatan yang berada di atas manusia.
2.
Tahap
metafisis; tahap manusia mengganggap bahwa didalam setiap gejala terdapat
kekuatan atau inti tertentu yang pada akhirnya akan dapat diungkapkan. Oleh
karena adanya kepercayaan bahwa setiap cita-cita terkait pada suatu realitas
tertentu dan tiadak ada usaha untuk menemukan hukum-hukum alam yang seragam.
3.
Tahap
positif;tahap dimana manusia mulai berpikir secara ilmiah.
Cendekiawan bisu dan palsu
Sharif shaary menegaskan bahawa seorang cendekiawan bukan hanya
sekedar berpikir tentang kebenaran tetapi harus menyuarakannya apapun
rintangannya. Seorang cendekiawan yang benar tidak boleh netral dan harus
memihak kepada kebenaran dan keadilan. Dia tidak boleh menjadi cendekiawan bisu
, kecuali dia betul-betul bisu atau dibisukan.
Jika betul-betul
bisu seorang cendekiawan masih dapat bertinfak dengan menyatakan pikiran
melalui penulisan yang akhirnya akan sampai juga kepada khayalak ramai. Inilah
yang dikatakan cendekiawan bisu yang tidak bisu. Sebaliknya, terdapat
Cendekiawan yang bisu tapi tidak bisu. Dia menjadi bisu mungkin karena dia
takut atau berkepentingan.
Cendekiawan
palsu akan mengelabui mata dan pikiran rakyat denagan kebenaran palsu melalui
penyelewengan fakta dan pernyataan keliru. Cendekiawan palsu banya menggunakan
retorika kosong. Tong kosong nyaring
bunyinya, kata-kata bijak itu sangat cocok bual hal tersebut.
Cendekiawan
menjadi Abdi Negara dan Masyarakat
Peningkatan kapasitas birokrasi
sebagai abdi negara yang melayani kepentingan masyarakat, masih jauh dari
harapan. Program Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi (Kemen PAN-RB), seakan membuahkan hasil memadai, meski berbagai upaya
telah dilakukan. Mengapa ? Sesungguhnya akar penyebabnya terdapat pada budaya
birokrasi di negara ini, yang merupakan hasil kombinasi dari watak dan karakter
birokrasi yang diwarisi dari masa sebelumnya.
Secara
sosiologi, birokrasi dan birokrat, adalah institusi dan kelompok masyarakat
yang dalam keseharian menjadi pejabat atau pegawai pemerintah. Di Indonesia
mereka disebut “Pegawai Negeri,” dan pada masa sebelumnya juga ada beberapa
sebutan tentang mereka. Dimasa Indonesia dibawah raja-raja feodal, misalnya,
mereka disebut sebagai “kaum priyayi atau abdi dalem.” Sedangkan dimasa
penjajahan Belanda disebut “kaum ambtenaar,” dan setelah Indonesia merdeka
disebut “Pegawai Negeri.”
Namun
setelah Indonesia merdeka mereka disebut “abdi negara.” Kendati secara formal
disebut “Pegawai Negeri” (sipil dan militer).
Selain
itu dikenal sebutan “Pamong Praja,” yang diambil dari bahasa Sansekerta yang
kurang lebih bermakna “pengasuh pemerintahan”. Sedang dalam ilmu-ilmu sosial
dan politik, lazimnya disebut sebagai “kaum birokrat”. Dari istilah ini, tentu
sudah tergambar, faktor apa yang menjadi landasan kekuatan serta kekuasaan
politik yang mereka miliki.
Birokrat Sebagai Penguasa
Sebagai
unsur yang berfungsi menjalankan tugas pemerintahan, tentu peranan kaum
birokrat sangat vital, dominan dan strategis. Bahkan kendati saat ini telah tampil
para politisi sebagai penguasa baru, peranan para birokrat tetap strategis.
Bahkan tak jarang para politisi mengadopsi kultur birokrat sehingga mengundang
masalah baru, yakni: Politisasi Birokrasi Pemerintahan. Hal ini antara lain
dari tingginya minat para politisi berebutjabatan di instansi pemerintahan dan
badan-badan usaha milik negara. Kenyataan menunjukkan kuatnya dominasi kaum
birokrat di berbagai aspek kehidupan, hingga kini kuat dan menentukan, terutama
dalam aspek ekonomi dan politik. Mereka dengan berlindung di seragam “abdi
negara”, mampu menggerakkan berbagai lini dan mesin birokrasi pemerintahan,
sehingga sangat strategis menjadi tonggak utama penyangga kekuasaan politik
yang paling tangguh.
Posisi dan Peran Birokrat
Saat
ini para birokrat dipersatukan dalam satu wadah yakni “Korps Pegawai Republik
Indonesia” (KORPRI). Adanya legitimasi politik kepada para “abdi negara”
memberikan keunggulan tersendiri. Sebab, predikat dengan predikat itu selain
cukup memberi kehormatan bagi mereka juga dapat dimanfaatkan untuk membenarkan
berbagai tindakan dan perilaku mereka. Alasan “tugas negara” jadi tameng
pelindung kepentingan pribadi dan atau kelompok.
Status
dan kedudukan birokrat, memang sangat ampuh untuk mengangkat harkat dan
martabat seseorang. Demikian pula untuk mengendalikan masyarakat. Ini dapat
menjelaskan mengapa jadi birokrat selalu jadi cita-cita orang Indonesia. Adalah
kenyataan setiap ada penerimaan calon pegawai negeri, jumlah peminatnya sangat
banyak. Bahkan, agar diterima sebagai pegawai negeri, kerap ada diantaranya
rela menyogok hingga mencapai jutaan rupiah. Menilik standar gaji (resmi)
seorang pegawai negeri, serta tingginya kompetisi memperebutkan status sebagai
birokrat, tentu jelas yang mereka kejar bukan faktor gaji semata. Tapi paling
utama, adalah berbagai kepentingan yang melekat padanya seperti, kehormatan,
kekuasaan, fasilitas, dan sebagainya, yang secara tidak langsung pada
gilirannya dimanfaatkan untuk mengembalikan pengorbanan yang sudah diberikan
pada saat masuk lingkungan pegawai negeri tadi.
Kedudukan
dan status sebagai birokrat, memang dianggap sangat istimewa dalam tradisi
masyarakat Indonesia. Sebab, apapun yang terucap oleh para birokrat, seringkali
dianggap sma dengan hukum yang mengikat setiap warga masyarakat. Kecenderungan
seperti ini, telah melembaga, dan telah mapan. Akibatnya, etos kehidupan para
birokrat tumbuh dengan karakteristik yang khas. Yakni, karateristik yang
identik dengan gaya hidup “priyayi.”