Jumat, 17 Mei 2013

Cendekiawan Abdi Negara


Cendekiawan Budaya Birokrat Indonesia –dari Abdi Dalem hingga Abdi Negara
Oleh:
 Andre Vetronius[1]


Pendahuluan
Cendekiawan atau intelektual ialah orang yang menggunakan kecerdasannya untuk  bekerja, belajar, membayangkan, menggagas, atau menyoal  dan menjawab persoalan tentang brbagai gagasan. Kata cendekiawan berasal dari Chanakya seorang politikus dalam pemerintahan Chandragupta dari kekaisaran Maurya. Tak bisa dipungkiri juga cendekiawan yang akan menjadi abdi negara dan masyarakat.

Setiap warga negara akan selalu berhubungan dengan aktivitas Birokrasi Pemerintahan. Bahkan ketika seseorang masih berada dalam kandungan ia sudah mulai tergantung dengan pelayanan birokrasi. Apakah untuk keperluan pemeriksaan kesehatan (di RS atau Puskesmas ) atau setelah lahir dan harus mendapatkan “sertifikat sebagai warga dunia” berupa akta kelahiran. Ketergantungan  dengan birokrasi itu terus berlanjut, seiring dengan bertambahnya usia seseorang atau sejalan dengan ragam aktivitas yang dilakukan ditengah masyarakat. Sementara itu, jenis pelayanan umum yang diselenggarakan birokrasipun sangat kompleks  dan bahkan memasuki hampir setiap aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Intervensi birokrasi yang demikian ini, sah-sah saja adanya, karena justru untuk menyelenggarakan fungsi itulah birokrasi  dibentuk.  
      Merupakan hal yang logis, jika kemudian birokrat atau aparatur publik itu dijuluki  Abdi Negara, karena pada pundaknya tugas-tugas kemasyarakatan, pemerintahan dan pembangunan diselenggarakan atas nama “organisasi politik super besar” yang disebut “negara”. Namun penting diingat, legitimasi yang diterima para abdi negara itu bersumber dari kepercayaan rakyat yang berdaulat. Artinya, seorang abdi negara  adalah seseorang yang mengemban amanat rakyat untuk mengayomi kepentingan kepentingan mereka (rakyat). Jadi, jika dikaitkan dengan sumber legitimasi ini, maka seseorang aparatur negara/ publik (pegawai negeri, birokrat atau abdi negara) itu, sesungguhnya adalah seorang abdi masyarakat. Ini berarti, bahwa tugas aparatur publik adalah melayani  masyarakatnya (public service).
       Kompleksnya pelayanan umum yang diberikan birokrasi, semakin mengabsahkan jaringan hirarkinya yang terbentang luas dari pusat hingga ke pelosok desa. Mengemban amanat rakyat, mengayomi dan memberikan pelayanan kepada mayarakat, mengadministrasikan tugas tugas pemerintahan dan pembangunan, adalah sebagian besar dari tanggung jawab yang diembannya. Dengan berbekal kode etik “Sapta Prasetya”, iapun dituntut berprilaku bersih sehingga wibawa dan kemuliaan memancar dari korpnya
Sudah sewajarnyalah rakyat berterima kasih kepada para “abdi” nya itu dan kemudian menaruh hormat terhadap lembaga atau korpnya. Tidak ada alasan bagi rakyat untuk tidak respek terhadap birokrasi. Namun ironisnya, persepsi masyarakat selama ini terhadap birokrasi tidaklah demikian adanya. Kondisi faktual dimasyarakat menunjukkan, bahwa berhubungan dengan birokrasi berarti berhadapan dengan kekuasaan perijinan yang menjelimet, penghormatan dari meja ke meja, atau bahkan formalisme yang eksesif.. Yang lebih parah lagi,acapkali rakyat diposisikan sebagai pembeli jasa yang harus siap membeli tiket layanan alias  amplop pelican,sekedar untuk mendapatkan layanan birokrasi. Hal ini disebabkan karena prosedur pelayanan yang semestinya memudahkan masyarakat sering ditunggangi kepentingan pribadi birokrat dan tidak jarang dijadikan komoditi layak jual.
Fenomena ini berlanjut mentradisi dalam korp birokrasi, meskipun sesungguhnya instrumen untuk menyikapinya sudah tersedia (misalnya, sistem pengawasan). Masyarakat pengguna jasa menganggap produk layanan birokrasi itu bukan lagi haknya yang dengan mudah dapat diperoleh (hanya dengan mengganti biaya bahan baku produk tersebut), melainkan telah memandang birokrasi itu sesuatu yang harus diakses dengan  koneksi tertentu mirip mekanisme hukum pasar. Dengan demikian ketentuan bahwa birokrasi memiliki kewajiban untuk melayani masyarakat menjadi berbalik, karena masyarakatlah yang harus “pintar” melayani kemauan birokrasi tersebut. Berangkat dari sinilah, fenomena kolusi, pungli dan penguasa perijinan dipersepsikan oleh masyarakat identik dengan birokrasi itu sendiri.
 “ Jargon abdi masyarakat hanyalah tinggal kenangan belaka atau sekedar slogan yang indah ?”.
            Menyikapi keadaan yang demikian itu, wajar jika kemudian timbul pertanyaan seputar peran birokrasi sebagai lembaga penyelenggara pelayanan masyarakat. “Benarkah birokrat itu abdi masyarakat?”
          Gejala phatologis birokrasi seperti yang telah dipaparkan diatas itu, menjadi semakin kronis ketika tumor tumor birokrasi lainnya, turut menghias kinerja birokrasi seperti : adanya proliferasi dan struktur ganda, instransparansi pertanggungjawaban (yang menyulut lahirnya manipulasi dan korupsi ), aplikasi patronase dalam rekrutmen pegawai (yang menyuburkan nepotisme dan suap), serta praktik mal-administrasi maupun mis-manajemen lainnya.
          Meskipun kondisi yang diungkapkan itu belum sepenuhnya dapat digeneralisir, apapun alasannya, fenomena yang demikian itu tentu tidak dapat dibiarkan berlarut. Sebab, jika fenomena phatologis itu dibiarkan menahun, maka tidaklah mustahil “krisis kepercayaan” masyarakat terhadap birokrasi suatu saat akan berubah menjadi destruktif. Dibeberapa tempat, ketakutan kaum birokrat elit untuk menggunakan kendaraan “plat merahnya” karena khawatir akan menjadi sasaran amuk massa, adalah indikator bahwa posisi rakyat telah berseberangan dengan birokrasi.
          Penting diingat bahwa, kita  tidak apriori dengan prestasi pembangunan yang berhasil dicapai selama ini, yang sebagian besar merupakan andil birokrasi dalam totalitas kinerjanya.Akan tetapi,  prestasi birokrasi dalam pembangunan itu akan tenggelam begitu saja jika penyakit birokrasi yang diderita selama ini, betapapun ringannya, dibiarkan terus tanpa solusi “penyembuhan”.

Secara umum terdapat tiga pengertian modren untuk istilah cendekiawan yaitu;
1.      Mereka yang amat terlibat dalam idea-idea dan buku-buku
2.      Mereka yang mempunyai keahlian dalam budaya dan seni yang memberikan mereka kewibawaan kebudayaan dan yang kemudian mempergunakan kewibawaan itu untuk mendiskusikan perkara-perkara lain di khalayak ramai. Golongan ini dipanggil sebagai intelektual budaya.
3.      Dari segi Marxisme mereka tergolong dalam kelas dosen, guru, pengacara, wartawan dan sebagainya.
Oleh karena itu cendekiawan sering dikaitkan dengan mereka yang lulusan universitas. Namun,Sharif Shaary, dramawan Malaysia terkenal mengatakan bahwa hakikatnya tidak semudah itu ia berkata:
“Belajar di Universitas buakan jaminan seseorang dapat menjadi cendekiawan. Seorang cendekiawan adalah pemikir yang senantiasa berpikir dan mengembangkan (serta) menyumbangkan gagasannya untuk  kesejahteraan masyarakat. Ia juga adalah seorang yang mempergunakan ilmu dan ketajaman pikirannya untuk mengkaj, menganalisis, merumuskan segala perkara dalam kehidupan manusia, terutama masyarakat dimana ia hadir khususnya dan diperingkat global umum untuk mencari kebenaran dan menegakkan kebenaran itu. Lebih dari itu, seorang intelektual juga seseorang yang mengenali kebenaran dan berani memperjuangkan kebenaran itu, meskipun menghadapi tekanan dan ancama, terutama sekali kebenaran, kemajuan, kebebasan untuk rakyat.

Tiga Tahap Perkembangan Cendekiawan atau Intelektual
Menurut August Comte ada tiga tahap perkembangan cendekiawan atau intelektual yang masing-masing merupakan perkembangan dari tahap sebelumnya:
1.      Tahap teologis; tingkat pemikiran manusia bahwa semua benda didunia mempunyai jiwa dan itu disebabkan oleh suatu kekuatan yang berada di atas manusia.
2.      Tahap metafisis; tahap manusia mengganggap bahwa didalam setiap gejala terdapat kekuatan atau inti tertentu yang pada akhirnya akan dapat diungkapkan. Oleh karena adanya kepercayaan bahwa setiap cita-cita terkait pada suatu realitas tertentu dan tiadak ada usaha untuk menemukan hukum-hukum alam yang seragam.
3.      Tahap positif;tahap dimana manusia mulai berpikir secara ilmiah.
Cendekiawan bisu dan palsu
Sharif shaary menegaskan bahawa seorang cendekiawan bukan hanya sekedar berpikir tentang kebenaran tetapi harus menyuarakannya apapun rintangannya. Seorang cendekiawan yang benar tidak boleh netral dan harus memihak kepada kebenaran dan keadilan. Dia tidak boleh menjadi cendekiawan bisu , kecuali dia betul-betul bisu atau dibisukan.
Jika betul-betul bisu seorang cendekiawan masih dapat bertinfak dengan menyatakan pikiran melalui penulisan yang akhirnya akan sampai juga kepada khayalak ramai. Inilah yang dikatakan cendekiawan bisu yang tidak bisu. Sebaliknya, terdapat Cendekiawan yang bisu tapi tidak bisu. Dia menjadi bisu mungkin karena dia takut atau berkepentingan.
Cendekiawan palsu akan mengelabui mata dan pikiran rakyat denagan kebenaran palsu melalui penyelewengan fakta dan pernyataan keliru. Cendekiawan palsu banya menggunakan retorika kosong. Tong kosong nyaring bunyinya, kata-kata bijak itu sangat cocok bual hal tersebut.

Cendekiawan menjadi Abdi Negara dan Masyarakat
            Peningkatan kapasitas birokrasi sebagai abdi negara yang melayani kepentingan masyarakat, masih jauh dari harapan. Program Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PAN-RB), seakan membuahkan hasil memadai, meski berbagai upaya telah dilakukan. Mengapa ? Sesungguhnya akar penyebabnya terdapat pada budaya birokrasi di negara ini, yang merupakan hasil kombinasi dari watak dan karakter birokrasi yang diwarisi dari masa sebelumnya.
            Secara sosiologi, birokrasi dan birokrat, adalah institusi dan kelompok masyarakat yang dalam keseharian menjadi pejabat atau pegawai pemerintah. Di Indonesia mereka disebut “Pegawai Negeri,” dan pada masa sebelumnya juga ada beberapa sebutan tentang mereka. Dimasa Indonesia dibawah raja-raja feodal, misalnya, mereka disebut sebagai “kaum priyayi atau abdi dalem.” Sedangkan dimasa penjajahan Belanda disebut “kaum ambtenaar,” dan setelah Indonesia merdeka disebut “Pegawai Negeri.”
          Namun setelah Indonesia merdeka mereka disebut “abdi negara.” Kendati secara formal disebut “Pegawai Negeri” (sipil dan mili­ter).
          Selain itu dikenal sebutan “Pamong Praja,” yang diambil dari bahasa Sansekerta yang kurang lebih bermakna “pengasuh pemerin­tahan”. Sedang dalam ilmu-ilmu sosial dan politik, lazimnya disebut sebagai “kaum birokrat”. Dari istilah ini, tentu sudah tergambar, faktor apa yang menjadi landasan kekuatan serta kekuasaan politik yang mereka miliki.

Birokrat Sebagai Penguasa
          Sebagai unsur yang berfungsi menjalankan tugas pemerintahan, tentu peranan kaum birokrat sangat vital, dominan dan strategis. Bahkan kendati saat ini telah tampil para politisi sebagai penguasa baru, peranan para birokrat tetap strategis. Bahkan tak jarang para politisi mengadopsi kultur birokrat sehingga mengundang masalah baru, yakni: Politisasi Birokrasi Pemerintahan. Hal ini antara lain dari tingginya minat para politisi berebutjabatan di instansi pemer­intahan dan badan-badan usaha milik negara. Kenyataan menunjukkan kuatnya domina­si kaum birokrat di berbagai aspek kehidupan, hingga kini kuat dan menentukan, terutama dalam aspek ekonomi dan politik. Mereka dengan berlindung di seragam “abdi negara”, mampu menggerakkan berbagai lini dan mesin birokrasi pemerintahan, sehingga sangat strategis menjadi tonggak utama penyangga kekuasaan politik yang paling tangguh.

Posisi dan Peran Birokrat
          Saat ini para birokrat dipersatukan dalam satu wadah yakni “Korps Pegawai Republik Indonesia” (KORPRI). Adanya legitimasi politik kepada para “abdi negara” memberikan keunggulan tersendiri. Sebab, predikat dengan predikat itu selain cukup memberi kehormatan bagi mereka juga dapat dimanfaatkan untuk membenarkan berbagai tindakan dan perilaku mereka. Alasan “tugas negara” jadi tameng pelindung kepentingan pribadi dan atau kelompok.
          Status dan kedudukan birokrat, memang sangat ampuh untuk mengangkat harkat dan martabat seseorang. Demikian pula untuk mengendalikan masyarakat. Ini dapat menjelaskan mengapa jadi birokrat selalu jadi cita-cita orang Indonesia. Adalah kenyataan setiap ada penerimaan calon pegawai negeri, jumlah peminatnya sangat banyak. Bahkan, agar diterima sebagai pegawai negeri, kerap ada diantaranya rela menyogok hingga mencapai jutaan rupiah. Menilik standar gaji (resmi) seorang pegawai negeri, serta tingginya kompetisi memperebutkan status sebagai birokrat, tentu jelas yang mereka kejar bukan faktor gaji semata. Tapi paling utama, adalah berbagai kepentingan yang melekat padanya seperti, kehorma­tan, kekuasaan, fasilitas, dan sebagainya, yang secara tidak langsung pada gilirannya dimanfaatkan untuk mengem­balikan pengorbanan yang sudah diberikan pada saat masuk lingkungan pegawai negeri tadi.
          Kedudukan dan status sebagai birokrat, memang dianggap sangat istimewa dalam tradisi masyarakat Indonesia. Sebab, apapun yang terucap oleh para birokrat, seringkali dianggap sma dengan hukum yang mengikat setiap warga masyarakat. Kecenderungan seperti ini, telah melembaga, dan telah mapan. Akibatnya, etos kehidupan para birokrat tumbuh dengan karakteristik yang khas. Yakni, karateristik yang identik dengan gaya hidup “priyayi.”

HISTORIOGRAFI INDONESIA “SUMBANGSIHNYA DALAM MENCARI AKAR IDENTITAS INDONESIA"

HISTORIOGRAFI INDONESIA
“SUMBANGSIHNYA DALAM MENCARI AKAR IDENTITAS INDONESIA”
Oleh ;
Andre Vetronius[1]


Pendahuluan
Dalam sebuah artikel yang berjudul “Yamin dan Hamka; dua jalan menuju identitas Indonesia”, yang ditulis oleh Deliar Noer[2] menyandingkan kedua tokoh tersebut dalam lintasan sejarah bangsa, tetapi dalam jalur berbeda, baik latar belakang mereka maupun kiprah mereka untuk bangsa. Semua predikat yang dimiliki Hamka ada pada Yamin, kecuali keulamaannya, atau keahlian di bidang agama Islam. Yamin lebih dikenal sebagai tokoh nasionalis “sekuler” dan sejak mudanya telah menjadi aktivis politik di lingkaran pusat kaum pergerakan di Batavia serta pernah menduduki kursi pejabat tinggi negara, sesuatu yang tidak diperankan oleh Hamka.
Deliar Noer merupakan sosok yang sangat unik dalam tulisannya tentang perdebatan antara Islam dan Negara tersebut. Dengan latar belakang pendidikan barat pemikiran agamanya kerap disandingkan dengan Nurcholis Madjid yang memilki pola pemikiran yang meyakini bahwa hubungan islam dan politik tidaklah organis. Namun sosok Deliar Noer adalah sosok islamis dengan berlatarbelakang masyumi dan kerap diindetikkan dengan ketokohan M.Natsir yang lebih bercorak fundamentalis.
Deliar Noer (1926-2008) merupakan sosok intelektual islam, hal itu tercemin dari berbagai tulisan,karya yang dihasilkannya tak sedikit menyinggung tentang gerakan islam dan kenegaraan. Salah satu karya yang dihasilkannya “Gerakan Modren Islam di Indonesia 1900-1942”. Selain itu ia juga pernah dipercayai sebagai ketua umum HMI (1952-1953), pada masa awal Orde Baru ia juga terlibat dalam proses pendirian partai PDII (Partai Demokrasi Islam Indonesia).
Persoalannya sekarang, sejauhmana intensitas dan kepedulian atau apresiasi kita terhadap hal itu, sehingga sumber-sumber yang dimaksud mampu berbicara kepada kita bahwa setiap daerah mempunyai sejarah, yang juga harus dapat diperhitungkan dalam pergumulan perkembangan sejarah Indonesia sepanjang abad. Rekonstruksi historiografi, untuk melihat seberapa jauh keterkaitan peristiwa-peristiwa ditingkat lokal dengan peristiwa yang lebih luas, Nasional maupun Internasional menjadi sebuah tuntutan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi sebagai wujud dari pencarian identitas bangsa dalam kerangka satu kesatuan yang utuh dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia.